Minggu, 09 Agustus 2015

“KAMPOENG NELAYAN” HOTEL IBIS STYLES JOGJA

Belum lama ini saya diajak oleh salah seorang teman untuk mencoba promo terbaru Hotel Ibis Styles Yogyakarta. Teman saya kebetulan adalah seorang blogger kuliner terkenal di Jogja. Kalau kalian ketik kata kunci “kuliner Jogja blog” di google, blognya akan langsung muncul di halaman pertama pencarian. Tidak heran kalau dia sering mendapat undangan makan di banyak tempat. Gratis. Sebagai timbal balik, ia harus menuliskan uraian mengenai tempat dan rasa makanan yang ia kunjungi. 
Promo baru Hotel Ibis Styles yang saya sebutkan di awal tadi memungkinkan ia mengajak teman. Jadilah saya mengekor dia. Namun, saya sadar jika saya juga punya tanggung jawab untuk turut menyebarkan promo Hotel Ibis Styles lewat blog saya.
Promo spesial yang ditawarkan Hotel Ibis Styles Jogja adalah “Kampoeng Nelayan”, sebuah pengalaman kuliner berkonsep buffet all you can eat. Bagi penggemar seafood, Juli dan Agustus merupakan kesempatan yang tepat untuk mencicipi masakan-masakan olahan ikan dan teman-temannya di Hotel Ibis Styles Jogja. Ada banyak menu yang ditawarkan. Mulai dari ikan bakar saus padang dan saus manis, kepiting lada hitam, otak-otak, tekwan, cumi saus tiram, dan masih banyak lagi. Bisa pilih dan makan sesukamu. Karena kemarin sedang promo, saya dapat gratisan. Kalau kamu mau datang, bisa dengan membayar Rp 125.000,00 per orang. “Kampoeng Nelayan” ada setiap hari Kamis dan Jumat, mulai pukul 18.00 sampai 22.00. Tempatnya di lobby teras lantai 1 Hotel Ibis Styles yang beralamat di Jl. Dagen No. 109 Malioboro, Yogyakarta.
Tidak hanya makan, di sana kamu juga bisa melihat langsung cara memasaknya alias live cooking. Chefnya namanya Christino Dwi Setiawan.
Berikut adalah beberapa gambar masakan yang sempat saya cicipi.


Ikan kakap super besar dan pepes ikan
Kepiting saus lada hitam dan kerang saus tiramnya juara! Udangnya so so laahh. Akan lebih baik kalau udangnya super segar.
Otak-otaknya enak. Bumbu ikan bakar saus padang dan saus manisnya kurang meresap.
Cuminya besar-besar! Tapi karena aku kebanyakan makan jadi sakit rahangnya. Hahaha!
Kepitingnya nambah lagi dong!
Suasananya cozy karena ada live music
Ada juga makanan non-seafood yang disediakan oleh pihak Hotel Ibis Styles Jogja, yaitu tahu gejrot dan rujak buah. 
Rujak buahnya enak tapi tahu gejrotnya tidak pedas sama sekali.
Secara umum, makanannya menyenangkan. Kenapa menyenangkan? Karena orang Indonesia jarang makan ikan, walaupun kita dikelilingi oleh laut. Paling banter mungkin ikan lele, yang sebenarnya ikan air tawar. Jadi, kehadiran "Kampoeng Nelayan" cukup bisa untuk mengiming-imingi penduduk Indonesia, terutama yang berada di Jogja dengan bermacam pilihan masakan. Pastinya menyenangkan bukan, bisa makan olahan laut yang jarang dikonsumsi dengan berbagai varian masakan? Satu lagi, kebersihan di sini terjamin sehingga kita bisa menikmati olahan laut dengan tenang walaupun dimasak setengah matang. 
Di akhir acara, ada sesi bagi-bagi doorprize. Tidak dinyana, saya kebagian hadiah utama: voucher menginap di Hotel Ibis Styles Solo selama semalam untuk dua orang. Hahaha. Beruntungnya. 
Bagaimana? Makan ikan itu sehat lho. Ayo makan olahan laut!

LIMA HARI DI BANGKOK

Ini kali pertama saya menjamah blog setelah berbulan-bulan saya anggurkan. Hahaha. Dalam tulisan ini saya akan berbagi tentang pengalaman saya berkunjung ke Bangkok selama 5 hari (1-5 Agustus 2015). Semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari panduan ke Bangkok mengingat sebelum berangkat ke sana, saya juga mengandalkan banyak informasi dari blog para traveller yang pernah ke sana.
Saya berangkat ke Bangkok bersama teman satu kelas saya, Isti. Dari Jogja kami naik kereta Senja Utama ke Jakarta, sebuah kereta bisnis dengan tarif Rp 256.250,00. Agak mahal dari hari-hari biasa karena kami memesannya pada tanggal 25 Juli, masih beberapa hari pasca Hari Raya Idul Fitri. Mau pesan kereta ekonomi jelas sudah ludes terjual. Pilihan yang tersisa tinggal kelas bisnis dan eksekutif.
Alasan kami menggunakan kereta untuk ke Jakarta dulu baru naik pesawat dari Soetta ke Bangkok adalah karena pesawat dari Jogja langsung ke Bangkok jatuhnya lebih mahal saat coba kami bandingkan. Kami berburu tiket pesawat hanya satu bulan sebelum keberangkatan. Soetta-Don Mueang Rp 987.900,00 sedangkan Don Mueang-Soetta Rp 1.373.500,00 dengan 1 kali transit di Malaysia. Kalau bisa pesan beberapa bulan sebelumnya, peluang mendapat tiket yang lebih murah akan lebih besar.
Hari I
Di Jakarta kami turun di stasiun Senen dan dijemput Oom saya untuk istirahat di rumah Beliau selama beberapa jam sebelum berangkat ke Soetta. Pesawat Air Asia kami berangkat pukul 16.45 dan tiba di Don Mueang pukul 20.00. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok. Tanggal 1 Agustus malam Bangkok sedang diguyur hujan. Pesawat kami landing tidak terlalu mulus karena landasannya licin pasca diguyur hujan.
Dari Don Mueang kami langsung ke bagian informasi bandara untuk mengetahui cara agar bisa sampai ke Cu i House (guest house Universitas Chulalongkorn). Mereka akan memberi kalian peta Bangkok yang super bermanfaat karena tidak hanya terdiri dari peta namun juga jalur-jalur BTS (semacam kereta cepat), bahasa Thai untuk survival, dan informasi penting lainnya. Dari bandara kami harus naik bus jalur 1 ke Mo Chit. Di sana ada stasiun BTS yang akan membawa kami ke stasiun BTS Siam, stasiun BTS yang paling dekat dengan penginapan kami di Chula Soi 9 (nama jalan). Biaya naik bus 30 baht sedangkan biaya BTS 42 baht. Cobalah dihitung dengan kurs rupiah dengan parameter 10 baht=Rp 4.300,00. Termasuk murah. Karena kami sampai di stasiun Siam hampir tengah malam dan merasa capek, kami memutuskan naik tuk-tuk (semacam kereta yang ditarik motor) sembari berusaha memetakan jalan walaupun sebenarnya jarak dari stasiun BTS ke penginapan tidak terlalu jauh. Satu tuk-tuk dihargai 80 baht. Jadi 40 baht untuk masing-masing kepala. Lumayan asyik lho naik tuk-tuk. Cobalah.
Penginapan kami sangat nyaman. Dengan biaya 3600 baht atau sekitar 1,2 juta per kamar selama 5 hari 4 malam, kami bisa mendapat fasilitas yang menyenangkan (2 tempat tidur, AC, kamar mandi berheater dan shower, TV berchannel internasional, lemari es), keamanan yang terjamin, dan lokasi yang sangat strategis di pusat kota Bangkok. Cobalah akses penginapan ini kalau ke Bangkok. Tidak akan menyesal. Kami mendapat rekomendasi dan bantuan pemesanan dari teman kami, Doni, yang saat ini menjadi mahasiswa di Universitas Chulalongkorn.
Doni banyak membantu kami di hari pertama kami berada di Bangkok. Mulai dari mengantar kami ke supermarket terdekat, memilihkan makan malam yang halal, sampai mencarikan kartu internet dan mendaftarkannya. Terima kasih banyak, Don!
Makanan favorit saya selama di Bangkok: vegetarian dinner seharga 29 baht yang dihangatkan dengan microwave. Dibeli di kios 7 eleven dekat penginapan. Rasanya ajib! Thailand banget!

Hari II
Hari kedua, kami naik taksi menuju The Grand Palace, kompleks kuil yang paling besar dan indah. Dari Chula Soi 9 - The Grand Palace kira-kira butuh waktu 20 menit dan kami hanya membayar 77 baht. Murah lho. Coba kalau naik taksi di Jogja. Hari di mana kami datang bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Sirikit, permaisuri Raja Bhumibol Adulyadej. Semua tempat wisata tiket masuknya dihargai dengan harga wisatawan domestik. Kami sebenarnya berniat masuk namun mengingat ada banyak sekali jumlah wisatawan asing yang bergerombol di sekitaran tempat wisata, kami mengurungkan niat. Saya tidak pernah bisa dan mau menikmati keindahan tempat yang terlalu banyak orang. Saya agak tidak suka dengan kebisingan dan kerumunan orang. Untunglah Isti juga berpendapat sama sehingga kami memutuskan jalan-jalan di sekitaran The Grand Place yang ternyata di kanan kirinya penuh dengan kuil-kuil dan bangunan indah lainnya. FYI, kuil di sana disebut dengan nama Wat.
Sungai Chao Praya yang lebar serta bersih. Digunakan sebagai jalur transportasi pariwisata. 
Di sebelah The Grand Palace atau Wat Phra Kaeo terdapat Wat Po. Di depan Wat Po, kami didatangi oleh seorang bapak-bapak yang kami kira adalah pegawai Departemen Pariwisata Thailand karena ia memberi kami informasi tentang Wat Arun, sebuah kompleks kuil yang terletak di seberang sungai Chao Praya dan untuk ke sana harus menggunakan perahu. Ia tiba-tiba memanggil salah satu sopir tuk-tuk yang membawa kami ke boat pier atau dermaga kapal. Untuk keliling sekitar Chao Praya selama satu jam, kami diminta membayar 1000 baht. Sontak kami menolak dan minta untuk dibawa kembali ke depan Wat Po. Doni pernah bilang pada kami bahwa untuk naik perahu ke Wat Arun hanya butuh 3 baht. Untung sopir tuk-tuk kami baik dan bisa menerima alasan kalau kami hanyalah dua mahasiswa bokek. Jadilah kami naik tuk-tuk bolak-balik yang menghabiskan 20 baht atau sekitar Rp 8.000,00. Murah ya. Walaupun tertipu 20 baht, kami bisa melihat sudut-sudut perkampungan sekitaran The Grand Palace yang tidak mungkin dilewati kalau menggunakan kendaraan yang melewati jalan umum khusus turis. Jadi, jangan gampang tertipu dengan seseorang yang tiba-tiba memberi informasi cuma-cuma kecuali ia berseragam dan kita memintanya memberi informasi.
Salah satu sudut The Grand Palace yang tidak kami masuki. Kuil-kuilnya indah dan unik. 

Kami naik perahu dengan biaya 3 baht ke Wat Arun setelah bertanya lokasinya pada seorang pegawai dinas pariwisata yang berseragam. Wat Phra Kaew,Wat Po, dan Wat Arun saling berdekatan sehingga sangat mudah untuk mencapai ketiganya hanya dalam satu hari. Naik perahu menyeberangi Chao Praya merupakan sebuah pengalaman baru bagi kami. Walaupun warna airnya coklat, tidak terlihat satu pun sampah yang mengambang. Kapan sungai-suangai di Jawa bisa dimanfaatkan menjadi jalur transportasi sekaligus pariwisata ya?
Wat Arun merupakan sebuah kompleks kuil yang sangat indah karena ada bermacam jenis kuil dengan fungsi, arsitektur, dan warna yang berbeda. Saya masuk tanpa membayar tiket. Entahlah apakah karena efek ulang tahun Ratu Sirikit, kompleks Wat Arun yang sedang direnovasi, atau petugas tiket luput mellihat kami.
3 buah jendela sebuah bangunan di kompleks Wat Arun yang dihias dengan ukiran dan pewarnaan yang sangat detil
Selesai berkeliling Wat Arun, kami mencari taksi untuk ke Catuchak. Biaya taksi dari Wat Arun ke Catuchak hanya 135 baht padahal jaraknya lumayan jauh lho. Transportasi umum di Bangkok benar-benar top deh. Catuchak adalah sebuah pasar kaget yang hanya beroperasi tiap hari Sabtu dan Minggu. Hampir mirip seperti Sunmor UGM kalau di Jogja. Bedanya, Catuchak buka sampai sekitar jam 6 sore dan lokasinya dibagi menjadi dua, pusat kuliner dan belanja. Jadi kalau sudah puas belanja barang-barang yang berharga sangat terjangkau di pusat belanjanya, kamu bisa memuaskan dahaga dan rasa lapar di bagian kulinernya. Hanya saja bagi yang Muslim, harus selektif sebelum mencoba makanan di sini mengingat banyak B2. Penjualnya cukup informatif dan pengertian kok. Mereka tahu kata “halal”. Jadi jangan ragu untuk bertanya. Untuk wisata belanjanya sendiri, sepertinya saya tidak perlu menguraikannya. Intinya di sini semua barang-barang berharga sangat terjangkau dan bisa ditawar. Untuk beberapa barang, harganya bisa bikin kaget karena sangat murah.
Dari Catuchak, kami mencari stasiun BTS untuk pulang ke penginapan di Chula i House. Stasiun BTS terletak tidak jauh dari Catuchak. Di sana banyak polisi yang berjaga, jadi tinggal tanya saja arahnya. Namun, harus siap-siap dengan keramaian dan kepadatan ya karena banyak sekali orang yang pulang dan pergi berkunjung ke Catuchak dengan BTS. Maklum, hanya buka di akhir pekan saja. Selama di BTS dan Catuchak, kami bertemu dengan orang-orang dari berbagai bangsa dan ras yang bisa teridentifikasi dari bahasa mereka. Ini membuktikan bahwa Bangkok telah menjadi surga belanja dan wisata yang cukup terkenal di dunia. Orang-orang lokal juga terlihat sangat terbiasa dengan keberadaan orang-orang asing di sekitar mereka. Semuanya bisa berbaur dengan harmonis. Sangat terlihat saat berada di dalam BTS.
Es krim kelapa dengan pilihan topping yang bisa diambil sebanyak yang kamu mau. Enak!

Hari III dan IV
Kedua hari tersebut merupakan hari yang padat karena kami harus mengikuti konferensi dan presentasi di sesi panel. Untuk makan siang dan makan malam, kami sudah memesan makanan halal saat pendaftaran jadi kami mendapatkan sesuai dengan apa yang kami pesan. Konferensi diselenggarakan di Hotel Mandarin, Rama Road IV. Lokasinya tidak jauh dari tempat kami menginap sehingga pulang pergi kami hanya jalan kaki.
Selama jalan kaki di pagi dan malam hari, saya mengamati bahwa Bangkok merupakan kota yang bersih. Tidak ada satu pun sampah plastik yang terlihat dibuang sembarangan. Kami selalu bertemu dengan petugas kebersihan yang bertugas di pagi hari. Namun, menurut saya, lingkungan yang bersih tidak hanya disebabkan faktor adanya petugas kebersihan. Kebersihan tidak mungkin tercipta jika penduduknya masih bandel membuang sampah. Salut!
Saat jam pulang kerja, macet ada di mana-mana namun tidak semacet Jakarta. Kemacetan akan berlangsung kira-kira sampai pukul 9 malam.
Di hari ke-empat, saya dan Isti pulang dari seminar pukul 4 sore jadi kami masih punya waktu untuk ke MBK. Dari penginapan ke MBK cukup hanya berjalan kaki. MBK merupakan sebuah mall luas yang menjual banyak barang. Kami ke sini untuk membeli oleh-oleh yang berupa makanan, walaupun ada banyak souvenir jenis lain. Di lantai 5 pengunjung bisa menemukan banyak penjual souvenir dan makanan khas Thailand. Yang paling terkenal mungkin adalah keripik durian. Kalau mau membeli makanan instant, cukup pergi ke lantai 2 di mana terdapat supermarket yang memiliki pilihan snack-snack yang bisa dibawa pulang. Biasanya yang dibeli adalah yang memiliki rasa green tea karena di Indonesia masih jarang sekali ditemukan.

Hari V
Kami bangun pukul 03.30 pagi dan meninggalkan penginapan sekitar pukul 04.00 karena pesawat kami berangkat jam 08.40. Sebenarnya kami bisa berangkat lebih siang, namun kami mengantisipasi segala kemungkinan terburuk karena jarak penginapan ke bandara Don Mueang yang cukup jauh. Benar saja. Kami harus menunggu taksi sekitar 20 menitan karena lupa pesan taksi sebelumnya. Di pagi hari pukul 04.00 taksi sangat jarang ditemukan. Untung kami ditemani seorang bapak security penginapan yang baik. Kami hanya berkomunikasi dengan bahasa tubuh. Si Bapak membuat saya tertawa dan cukup bisa mengurangi rasa kantuk. Dari Chula Soi 9 ke Don Mueang di pagi hari yang lengang, kami membutuhkan waktu hampir setengah jam. Saya tidak bisa membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan kalau kami naik taksi di siang atau sore hari. Kali ini sopir taksi menolak memasang argonya, yang bisa saya mengerti karena alasan pagi hari dan jalanan yang masih lengang. Ia yang menentukan harga. 200 baht. Masih tergolong standard menurut saya.
Kami pulang naik Malindo dan harus transit di Malaysia untuk ganti pesawat. Dari Kuala Lumpur ke Jakarta kami naik KLM, maskapai Kerajaan Belanda. Dari beberapa kali kesempatan naik pesawat, baru kali ini saya naik pesawat dengan kapasitas sebesar KLM. Lumayan dapat makan minum dan free bagasi 20 kg.
Begitu kira-kira cerita perjalanan selama 5 hari 4 malam di Bangkok. Semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari informasi tentang Bangkok.

PS:
Contoh kurs dari Baht ke Rupiah
50 baht = Rp 21.500,00 (50xRp 430,00)