Rabu, 06 Agustus 2014

JALAN TAK ADA UJUNG


Dari beberapa karya Mochtar Lubis yang pernah saya baca, Jalan Tak Ada Ujung sampai saat ini masih jadi favorit saya. Sudah tak terhitung berapa kali novel ini telah saya baca gara-gara novel ini menjadi salah satu koleksi sepupu dan dapat dengan mudah dijangkau di rak bukunya. Sejak saya belum sekolah sampai SMA kelas 2, saya tidak pernah absen untuk menghabiskan waktu liburan di rumah Pakdhe dan Budhe yang ada di kota sebelah. Jalan Tak Ada Ujung telah menemani hari-hari libur saya di sana selama tahun-tahun tersebut selain novel-novel Mira W, majalah Bobo dan Djaka Lodhang. Ada mungkin 10 kali buku ini telah saya baca.
Bersetting bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan, novel ini bercerita seputar kehidupan seorang guru bernama Isa yang merasa dirinya lemah dan penakut. Selama ini ia berusaha keras untuk menyembunyikan ketakutannya tersebut sehingga tidak ada orang yang tahu. Ia takut pada zaman yang semakin sulit, ia takut pada gajinya yang tersendat, ia takut pada NICA, ia takut menjadi kurir para pejuang. Rasa takutnya membuatnya menjadi lemah dan berimbas pada ketidakmampuannya untuk melayani istrinya di ranjang. Guru Isa sadar bahwa darahnya tak lagi meletup-letup seperti dulu kala. Ia kini telah hampir padam.
Guru Isa menjadi kurir para pejuang kemerdekaan yang mencegah kekuatan pihak asing, baik itu Belanda maupun Inggris, untuk kembali menanamkan pengaruhnya di republik yang sudah merdeka. Tugasnya hanya berkisar di antara menyampaikan pesan atau mencari kendaraan untuk mengangkut amunisi para pejuang. Dalam melakukannya, ia merasa terbebani dan menderita karena rasa takutnya. Ia sering bermimpi terjebak dalam sebuah jalan yang tak ada ujung. Saat ia takut dan berniat kembali, jalan di belakangnya telah menghilang.
Rasa takut Guru Isa ini berbanding terbalik dengan semangat Hazil yang menyala-nyala. Hazil adalah seorang pemuda yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ia mengorganisir banyak hal untuk melancarkan perjuangan. Ayahnya adalah seorang mantan pegawai kolonial yang mengutuk zaman kemerdekaan karena membuat hidupnya susah tanpa pekerjaan, penghasilan, dan pengaruh. Ayah Hazil adalah contoh generasi tua yang lebih memilih untuk mendukung kolonisasi asalkan hidupnya tenang dan tercukupi, sedangkan Hazil adalah kebalikannya.
Seperti Guru Isa, Hazil adalah seorang penggemar musik sekaligus pemain biola yang mahir. Ia sering berkunjung ke kediaman Guru Isa untuk berlatih dan membuat komposisi lagu bersama. Dengan hadirnya Hazil, hidup Guru Isa sedikit lebih bersemangat. Intensitas kunjungan Hazil ke rumah Guru Isa pun mendekatkannya dengan Fatimah, istri Guru Isa. Kedekatan itu pun berbuah menjadi rasa suka dan Hazil mampu memenuhi tempat Guru Isa yang selama ini tidak mampu untuk membahagiakan sang istri. Pada akhirnya Guru Isa diam-diam mengetahui hubungan tersebut, namun tidak ada yang dapat dilakukannya. Ia cenderung menyalahkan dirinya sendiri yang lemah.
Perjanjian Linggarjati yang dinilai merugikan Indonesia membuat para pejuang ingin menunjukkan bahwa mereka masih memiliki taring. Direncanakanlah untuk melemparkan granat pada sekumpulan tentara Belanda yang baru keluar dari bioskop Rex. Tugas itu akan dipasrahkan pada Hazil dan Rakhmat. Sedangkan Guru Isa bertugas mengamati berhasil tidaknya lemparan granat tersebut dan seberapa parah dampaknya. Granat tersebut hanya menewaskan beberapa serdadu. Namun, setelah itu Guru Isa dibayangi ketakutan akan polisi militer yang memburunya.
Pada akhirnya, polisi militer behasil mengankap Hazil. Setelah menerima berbagai siksaan, ia menyebut nama Rakhmat dan Guru Isa. Jadilah Guru Isa diciduk dan dibawa ke tahanan. Ia juga menerima siksaan yang tiada henti. Namun mulai dari sini, ketakutan dalam diri Guru Isa mulai menghilang. Ternyata apa yang dibayangkannya selama ini tidak semenakutkan apa yang dialaminya. Ia masih bisa bertahan. Kesadarannya ini menumbuhkan kembali keberaniannya. Ia merasa darahnya mulai kembali panas dan bersemangat. Sebaliknya, Hazil menjadi rapuh dan terjebak dalam ketakutannya.
Dengan bahasa yang lugas, novel ini justru bisa membawa kepada sebuah situasi manusiawi yang dialami oleh kebanyakan masyarakat di zaman tersebut. Setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing. Namun di antara ketakutan dan rasa putus asa yang mengikuti, ada juga harapan akan masa depan yang lebih baik yang memunculkan kebahagiaan.
Dari sisi sejarah, novel ini bisa menggambarkan sisi gelap perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan tersebut bisa mengorbankan segalanya, termasuk kemanusiaan. Ada bagian di mana Guru Isa, Hazil, dan Rakhmat bertemu dengan anggota pejuang kemerdekaan yang tak segan menyembelih orang lain tanpa banyak pertimbangan. Semua yang dianggap mencurigakan langsung dihabisi. Nurani mereka terkoyak saat menyaksikan dua tubuh hasil sembelihan yang mulai membusuk. Perang kadang memang menghasilkan orang-orang biadab yang kehilangan nurani.
Di masa itu, manusia di Jakarta, mulai dari tukang becak sampai pegawai berjuang mati-matian untuk bisa sekedar makan. Kondisi yang tidak aman memperlambat pasokan bahan makanan dan menimbulkan kelangkaan sehingga harga-harga cepat naik. Berhutang adalah hal yang lumrah. Namun, di antara semua kekurangan dan bayang-bayang pencidukan oleh polisi militer karena dituduh musuh, masih ada harapan yang bisa bertransformasi menjadi senda gurau saat bertemu kawan. Semua orang Indonesia tidak ragu untuk mengucapkan salam “Merdeka!” tiap bertemu orang Indonesia yang lain. Mereka bisa sangat dekat dan tidak ragu untuk menolong. Tidak ada kesenjangan karena semua orang susah dan berjuang. Sangat berbeda dengan novel Mochtar Lubis yang berjudul “Senja di Jakarta” yang menggambarkan sebuah bangsa di alam merdeka yang justru punya kesenjangan sosial teramat lebar. Fakta lain yang menurut saya menarik adalah masyarakat zaman itu menyebut tentara dengan sebutan “ubel-ubel”. Ini ditujukan bagi tentara sekutu yang kebanyakan berasal dari India dan menggunakan kain yang dililitkan (Jawa: diubelke) di kepala.
Secara pribadi novel setebal 167 halaman ini membuat saya melihat pergulatan yang dialami oleh seorang manusia di dunia ini dengan rasa takutnya. Saya pikir, siapapun yang membacanya pasti tidak akan asing dengan pergulatan tersebut. Kita pun punya pergulatan dalam diri masing-masing. Selamat membaca!

Selasa, 05 Agustus 2014

HARIMAU! HARIMAU!


Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975, judul awal buku ini bukanlah Harimau! Harimau! namun Hutan. Novel yang dikarang saat Mochtar Lubis mendekam di penjara di Madiun ini menerima penghargaan buku terbaik dari Yayasan Buku Utama pada tahun 1975 dan Yayasan Jaya Raya di tahun 1979 serta telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Belanda.
Novel ini bercerita tentang tujuh pencari damar yang harus berjuang hidup dan main petak umpet dengan harimau yang memburu mereka. Ketujuh orang itu adalah Sutan, Talib, Sanip, Wak Katok, Pak Balam, Pak Haji, dan Buyung. Masing-masing dari mereka memiliki masa lalu dan dosa yang mereka anggap sebagai penyebab dari diburunya mereka oleh sang harimau. Mereka bergelut dengan pertanyaan apakah harus mengakui kesalahan mereka selama ini atau menyangkal dan menyimpannya dalam-dalam agar harimau tidak memburu mereka lagi. Ada yang mudah tergoda dengan wanita, ada yang dengan sengaja membunuh teman sendiri saat zaman perjuangan, ada yang mencuri, ada yang berzina, ada yang menipu, ada yang tidak percaya dengan manusia lain dan Tuhan, singkatnya semua hal yang dianggap buruk terkumpul dalam dosa dan masa lalu ketujuh tokoh tersebut.
Menarik saat membicarakan rasa percaya mereka bahwa harimau yang mereka hadapi adalah harimau jadi-jadian yang dikirim untuk menghukum. Hal ini memunculkan perdebatan di antara para tokoh tentang apa yang harus dilakukan untuk menolak hukuman. Satu-satunya cara yang disepakati adalah mengatakan dosa dan masa lalu. Pilihan ini sebenarnya banyak ditentang oleh semuanya, kecuali Pak Balam yang mengusulkannya saat menunggu ajal datang setelah diterkam harimau. Semuanya ingin sembunyi dan lari dari dosanya dan meyakinkan diri sendiri bahwa harimau yang ada hanyalah harimau biasa yang sedang lapar.
Namun kemudian Talib diterkam. Selanjutnya Sutan. Dan yang lain mulai mempertanyakan kemungkinan bahwa memang benar yang datang adalah harimau siluman. Tapi yang lebih penting adalah pergelutan mereka dengan hati nurani sendiri. Benarkah semua hal buruk yang dilakukan di masa lalu itu adalah dosa? Atau hanya hal biasa karena setiap orang pun berdosa dan lumrah dilakukan. Lagipula dosa pribadi mereka tidak terlalu besar dibandingkan dosa teman yang lain.
Pada akhirnya hanya tinggal Buyung, Sanip, dan Wak Katok. Di situasi yang mengharuskan mereka berhadap-hadapan dengan sang harimau, terlihat watak asli Wak Katok. Ia yang selama ini dianggap sebagai pemimpin karena karisma dan ilmunya ternyata hanyalah manusia biasa yang penuh dengan rasa takut. Semua orang salah menganggapnya sebagai seorang yang bijaksana. Ia memperkosa istri-istri musuh di zaman perjuangan, membunuh teman sendiri, menipu warga desa, dan juga berzina dengan Siti Rapiah, istri muda Wak Hitam yang pondoknya di tengah hutan mereka tinggali saat mencari damar. Di akhir cerita, Wak Katok benar-benar hancur sebagai manusia. Tidak ada dari harga dirinya yang tertinggal di mata Buyung dan Sanip yang berhasil membunuh harimau yang ternyata hanyalah harimau lapar.
Satu hal yang membuat buku yang terdiri dari tujuh bab ini menjadi salah satu novel Indonesia favorit saya adalah kemampuannya untuk membuat pembacanya tidak beranjak sebelum cerita selesai, apalagi untuk yang baru pertama kali membacanya. Mungkin alasan tersebut berkorelasi dengan fakta bahwa cerita dalam novel ini adalah tentang cara-cara berbagai manusia bertahan hidup dari ancaman harimau. Karakter setiap tokoh berfungsi seperti petunjuk yang membuat pembaca mengira-ngira siapa lagi yang akan mati terkena terkaman sang raja hutan. Dengan mangikuti alurnya, akan tampak satu demi satu, siapa saja yang akhirnya meregang nyawa.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya membaca Harimau! Harimau!. Terhitung ini sudah yang ketiga kalinya. Namun tidak seperti menonton film, membaca buku menurut saya bisa memberi pembaca perspektif baru walaupun yang dibaca adalah buku yang sama. Tiga kali proses pembacaan yang saya pernah lakukan pada novel ini mengantarkan pada pemahaman yang semakin kaya. Jika pengalaman membaca yang pertama (kelas 2 SMP) saya lebih penasaran terhadap siapa saja yang akan selamat dari terkaman harimau, pembacaan kedua yang saya lakukan (kelas 3 SMA) membuka mata saya bahwa novel ini bukan sekedar tentang para pencari damar yang bertahan hidup di tengah hutan yang berbahaya karena terdapat seekor harimau lapar. Saya mulai mengerti bahwa novel ini adalah tentang manusia yang sebenarnya harus bergelut dengan usaha tiada henti untuk, seperti yang dikatakan Pak Haji, melawan harimau yang ada dalam diri mereka sendiri dan betapa pentingnya untuk bersikap jujur sesuai dengan hati nurani.
Di ketiga kalinya, saya menemukan bahwa buku ini mengandung isu politik yang kental. Ketujuh pendamar adaah representasi rakyat Indonesia yang dikomandoi oleh seorang sosok karismatik Wak Katok yang merupakan alegori untuk Presiden Soekarno. Harimau bisa diartikan sebagai tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Novel ini hanya setebal 214 halaman. Ada banyak waktu yang bisa diluangkan untuk membacanya dan menemukan keasyikan dalam mengikuti alurnya. Selamat membaca!