Minggu, 08 September 2013

YUKIGUNI (DAERAH SALJU)


Yasunari Kawabata adalah penerima Nobel Sastra pertama dari Jepang. Penghargaan tersebut diterima tahun 1968. Kawabata terkenal dengan prosa lirisnya. Prosa liris adalah bentuk tulisan seperti prosa yang memiliki irama tertentu. Prosa liris Kawabata di Jepang dikategorikan sebagai haiku. Salah satu karyanya yang dianggap monumental dan mengandung bait-bait haiku adalah sebuah novel berjudul Yukiguni yang dialihbahasakan dalam bahasa Inggris menjadi Snow Country. Penerbit Gagas Media menerbitkan versi bahasa Indonesianya dengan judul Daerah Salju dengan penerjemah A.S. Laksana.
Daerah Salju adalah sebuah kisah cinta antara seorang pria Tokyo bernama Shimamura dengan seorang geisha di daerah pemandian air panas (onsen) bernama Komako. Shimamura rutin mengunjungi pemandian air panas di setiap musim dingin saat salju mulai menyelimuti desa tempat tinggal Komako dan selalu menggunakan jasa geisha tersebut. Komako adalah geisha onsen yang kehidupannya sangat sederhana dibandingkan dengan rekan-rekan seprofesinya di Tokyo dan Kyoto. Ia belajar samisen dengan otodidak. Shimamura yang seorang pengamat amatir tarian Barat seolah menemukan pelengkap dalam kesederhanaan tradisional Komako. Komako memainkannya samisen dan menemaninya tiap malam walaupun ia akan langsung pergi sebelum matahari pagi bersinar. Dalam budaya Jepang tradisional, seks dipercaya menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Seorang pria beristri tidak dilarang untuk menyewa jasa wanita panggilan.  
Komako memiliki perasaan yang sama terhadap Shimamura. Namun keduanya telah mafhum sedari awal bahwa hubungan mereka tidak akan bisa berhasil. Kehidupan Komako yang keras dan sulit seolah tidak bisa mengimbangi jalan pikiran Shimamura yang penuh dengan fantasi. Ketdakmampuan Shimamura dalam mengerti dan melengkapi Komako digambarkan dalam sebuah insiden kebakaran yang juga menjadi penutup dari novel ini. Saat Komako berlari memberikan bantuan pada Yoko, wanita yang kecantikannya juga dikagumi oleh Shimamura, Shimamura mematung dan hanya mampu memandang Komako yang berlari panik dan menjerit mendekati jasad Yoko.
Naskah ceritanya diterjemahkan dengan baik oleh pengalihbahasa jadi tidak ada kesulitan dalam memahami cerita dan alurnya. Walaupun bukan merupakan haiku lagi ketika sudah diterjemahkan, namun pembaca masih dapat mengagumi keindahan karya sastra ini melalui penggambaran hal secara sangat detail oleh Kawabata. Detail tidak membuat ceritanya menjadi membosankan. Malah justru menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari petualangan Shimamura dan Komako. Paragraf berikut bisa menjadi contoh:

Pada saai itulah, cahaya muncul di tengah wajah si gadis. Bayangan di cermin tidak cukup kuat untuk menahan cahaya di luar sana, sementara cahaya di luar pun tidak terlalu kuat untuk meredupkan bayangan. Cahaya bergerak melintasi wajah, tetapi tidak sampai membuat wajah itu berkilau. Cahaya itu adalah bintik yang jauh dan samar. Saat ia mengirimkan pancarannya ke bola mata si gadis, saat mata dan cahaya itu saling bertindihan, mata itu menjadi kilau cahaya indah sekaligus ganjil, yang mengapung di lautan malam. (Kawabata, 2010: 8)
Paragraf tersebut menggambarkan Shimamura yang sedang mengagumi kecantikan seorang wanita bernama Yoko yang ia lihat dalam perjalanan naik kereta menuju onsen. Di sepanjang halaman buku, tidak sulit untuk menemukan kalimat-kalimat indah lainnya.
Menurut beberapa analisis sastra yang saya baca, Komako sebenarnya adalah representasi budaya tradisional Jepang yang mulai luluh karena modernisasi, dalam hal ini diwakili Shimamura. Tragisnya akhir cerita ini mungkin merupakan kekecewaan Kawabata akan makin terkikisnya nilai-nilai tradisional Jepang. Bagi yang tertarik untuk menikmati karya sastra Jepang yang sangat berkualitas karena merangkum aspek budaya, sastra, dan kehidupan itu sendiri, buku setebal 188 halaman ini bisa menjadi salah satu pilihan. Selamat membaca! 

Tidak ada komentar: