Senin, 14 Juli 2014

MANUSIA INDONESIA


Mochtar Lubis adalah salah satu sastrawan Indonesia favorit saya. Sejak SMP, saya sudah akrab dengan buku-bukunya. Terima kasih tak terhingga harus saya ucapkan pada guru bahasa Indonesia saya, Bu Dian, yang tanpa henti memaksa saya dan teman-teman sekelas untuk melahap buku-buku sastra Indonesia dari berbagai zaman.
Tidak seperti buku-buku sastra yang saya akrabi sebelumnya, Manusia Indonesia adalah teks pidato Mochtar Lubis yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977. Jadi ada kesan berbeda yang saya dapatkan saat membaca buku ini. Membaca karya non-fiksi Mochtar Lubis seperti mengenalnya dari sisi yang lain. Tapi ada satu hal yang saya pastikan tetap sama, yaitu adanya kritik terhadap karakter bangsa Indonesia yang mengalami penurunan kualitas secara moral, baik itu pemerintah maupun manusia Indonesia secara umum. Kritik semacam itu juga bisa ditemukan di novel-novelnya seperti Jalan Tak Ada Ujung dan Senja di Jakarta.
Karena kritiknya tersebut, banyak pihak-pihak yang merasa tidak sepenuhnya menyetujui pendapat Mochtar Lubis sehingga teks pidato ini menuai banyak tanggapan dari tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang. Ramainya tanggapan tersebut mengingatkan saya pada Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh tulisan Sutan Takdir Alisjahbana. Menariknya, beberapa tanggapan terhadap pidato tersebut juga turut dicantumkan di buku ini.
Sebelum membaca pidatonya, ada baiknya membaca Pengantar yang dituliskan oleh Jacob Oetama agar tidak salah paham ketika membaca buku ini mengingat pidato tersebut berisi uraian yang mungkin dapat membuat kita pesimis menjadi bangsa Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa pidato ini memang bernada pesimistis, sebenarnya pidato ini mengajak pembacanya untuk bersikap kritis dengan memaksa mereka untutk bertanya pada diri mereka sendiri apakah karakter mereka benar seperti manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijabarkan oleh Mochtar Lubis.
Pidato Mochtar Lubis bisa dibagi menjadi 10 bab. Bab I Manusia Indonesia berisi gambaran populer tentang manusia Indonesia yang selama ini dipersepsikan oleh orang asing atau bangsa Indonesia sendiri, baik itu persepsi yang buruk maupun yang baik. Persepsi ini muncul melalui keberadaan data-data sejarah dan terpelihara lewat sastra-sastra daerah dan tradisi yang dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah mistisisme, sifat yang artistik, kurang mampu berpikir hal yang sulit-sulit, serta dorongan seks yang besar.
Bab II sampai dengan bab VII berjudul Ciri Kesatu sampai Ciri Keenam yang apabila diringkas dapatlah kira-kira dirangkum keenam sifat manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, artistik, dan kurang kuat mempertahankan keyakinan. Dari keenam sifat tersebut, hanya dapat ditemukan satu sifat yang baik, yaitu artistik. Kesannya memang kelima bab yang lain dituliskan untuk mengkritik habis-habisan bangsa Indonesia yang saat Mochtar Lubis menyampaikan pidato ini sedang hidup dalam kebohongan karena korupsi dan perilaku ABS (Asal Bapak Senang) bisa ditemukan di hampir semua bidang dan lapisan masyarakat. Tidak ada lagi karakter-karakter mulia yang dahulu bisa ditemukan di zaman perjuangan di mana bangsa Indonesia mampu bersatu padu dan rela berkorban mengusir penjajah.
Bab VIII Ciri Lainnya pada dasarnya hanya berisi ciri-ciri manusia Indonesia yang belum disebutkan di bab sebelumnya. Sebagian besar isinya masih ciri-ciri yang negatif seperti tidak suka bekerja keras, gampang cemburu dan dengki, malas, dan tukang tiru. Di samping sifat-sifat yang jelek itu, bangsa Indonesia juga punya sifat baik seperti berhati lembut, suka damai, dan rasa humor yang membuatnya dapat tertawa saat sulit dan menderita. Di akhir bab, Mochtar Lubis menyebutkan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi. Namun, karena keduanya membawa kekuasaan yang tak pernah netral, manusia Indonesia harus hati-hati dalam menggunakannya.
Di bab IX yang diberi judul Dunia Kini, Mochtar Lubis membahas hubungan antara ekonomi, sumber daya alam, dan teknologi terhadap kesejahteraan sebuah bangsa. Ada beberapa kasus yang disajikan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pengelolaan ketiganya bermuara terhadap kesejahteraan atau keterpurukan sebuah bangsa. Yang paling utama adalah bagaimana banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, sekarang masih sangat tergantung pada negara-negara besar dalam hal teknologi, pengelolaan SDA, dan sistem ekonomi sehingga sangat mudah diatur dan dimanfaatkan. Ia menekankan betapa pentingnya untuk menjadi mandiri dengan cara memaksimalkan kemampuan bangsa Indonesia karena senyatanya kita tidak bisa benar-benar lepas dari sistem dan jaringan ekonomi internasional. Bagian terakhir, yaitu kesimpulan, berisi berbagai saran Pak Mochtar untuk berbagai bidang penghidupan mulai dari kesenian sampai sikap keseharian.
Beberapa tanggapan yang disajikan dalam buku ini dirangkum dalam sebuah bab berjudul “Tanggapan-tanggapan Tanggapan atas Tanggapan” (HAHAHA). Tanggapan tersebut datang antara lain dari Sarlito Wirawan Sarwono (psikolog UI), Margono Djojohadikusumo (ayah Prof. Soemitro Djohohadikusumo, kakek Prabowo), Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah. Sarlito mengkritisi ciri-ciri manusia Indonesia yang disebukan Mochtar Lubis melalui pendekatan psikologis. Margono mengkritisi sifat feodal manusia Indonesia yang dikritik habis-habisan oleh Mochtar seolah tidak ada sisi positifnya. Wildan Yatim mengatakan bahwa ciri-ciri manusia Indonesia yang terkesan buruk itu penyebabnya adalah politik praktis sehingga lembaga perwakilan rakyat harus benar-benar membawa suara rakyat. Sedangkan Dr. Abu Hanifah dalam tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis menyinggung banyak aspek yang harus ditelaah, seperti bapakisme sampai kurangnya teknorat di Indonesia.
Mochtar Lubis menjawab tanggapan-tanggapan yang dilayangkan dalam tulisannya tersebut. Umumnya Mochtar menyayangkan tidak cermatnya keempat penulis tanggapan tersebut dalam membaca teks pidatonya sehingga tidak bisa menangkap esensinya. Terlepas dari benar tidaknya pidato Mochtar Lubis telah mendiskreditkan manusia Indonesia karena mencantumkan sifat-sifat negatif yang teramat banyaknya, pidato ini sebenarnya menggugah pembacanya untuk bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka benar seperti yang dicantumkan dalam teks pidato tersebut. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: