Jumat, 02 Januari 2015

BURUNG-BURUNG MANYAR


Berhubung saya tidak punya acara khusus di malam tahun baru 2015, saya memilih untuk menghabiskan waktu membaca kembali karya YB. Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun berjudul Burung-burung Manyar. Misi membaca kembali ini sudah saya mulai satu hari sebelumnya sehingga di pagi hari 1 Januari 2015 saya hanya perlu menyelesaikan 3 bab terakhir.
Alasan mengapa saya memilih buku tersebut untuk dibaca kembali sebenarnya sangat simple. Belum lama ini saya jalan-jalan ke Togamas dan di sana saya menemukan buku ini. Dulu saat kelas 2 SMP saya pernah membaca buku tersebut tetapi lupa-lupa ingat dengan ceritanya sehingga saya bertekad untuk membacanya kembali dan tidak lupa dengan ceritanya. Jadi, saya membeli buku tersebut dan baru sempat saya baca 1 hari sebelum malam tahun baru 2015.
Buku ini menarik karena diawali dengan sebuah pembuka yang diberi judul “Prawayang”. Dalam bagian ini, Romo Mangun menceritakan sebuah babak dalam cerita pewayangan di mana Kakrasana yang merupakan titisan Dewa Basuki dan putra Basudewa sejak kecil sudah dititipkan di keluarga Antapoga, sang gembala istana, bersama saudara-saudarinya, Narayana dan Rara Ireng. Mereka tumbuh bersama putri Antaboga yang bernama Rarasati. Dalam perang Barathayuda, Kakrasana yang kemudian bergelar Raja Baladewa sejak awal memihak Kurawa padahal hati dan dukungannya sepenuhnya ia serahkan pada Pandawa. Hal ini demi kesetiaannya pada istri dan mertuanya, Raja Salya. Sudah bisa ditebak bahwa keputusan dan nasib yang ditimpakan kepada beberapa tokoh dalam kisah pewayangan tersebut berhubungan dengan karakter-karakter yang nantinya akan ditemukan dalam novel.
Rangkaian kisah setebal 406 halaman pada dasarnya menceritakan kehidupan dua orang anak manusia bernama Setadewa atau Teto dan Larasati atau Atik. Keduanya berasal dari keluarga terpandang dan ningrat. Masing-masing keluarga memiliki pertautan dengan Kraton Mangkunegaran di Solo. Saat keduanya tumbuh besar, mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka mencintai satu sama lain namun situasi saat itu tidak memungkinkan mereka untuk bersatu. Teto memilih untuk menjadi tentara KNIL dan berperang melawan tentara-tentara Indonesia karena kekecewaanya pada pemerintah Indonesia yang menurutnya hanya kepanjangan tangan Jepang. Ia teramat membenci Jepang karena sang ibu yang Indo dan berparas cantik, Marice, dipaksa menjadi gundik Jepang sampai akhirnya menjadi gila. Sedangkan ayahnya, Letnan Brajabasuki, yang mengabdi para pemerintah Hindia Belanda, ditahan oleh Jepang dan setelah itu tidak pernah diketahui lagi kabarnya.
Kebencian Teto ini berkebalikan dengan dukungan yang diberikan keluarga Antana, orang tua Larasati, terhadap pemerintahan pimpinan Soekarno. Bahkan Larasati saat zaman perjuangan sempat menjadi juru ketik Perdana Menteri Sjahrir. Dua komitmen bertentangan antara sepasang orang yang saling mencintai ini mengingatkan saya pada sebuah film drama romantis tahun 70an yang dibintangi Robert Redford dan Barbara Streissand berjudul The Way We Were.
Kisah kehidupan yang berisi tentang keteguhan hati yang diombang-ambingkan oleh perasaan purba manusia yaitu cinta, masa perjuangan yang keras, sadis, namun romatik, dan besarnya cinta kasih keluarga membuat Burung-burung Manyar menyajikan salah satu prototipe kisah manusia di zaman perjuangan dan Orde Baru. Ada banyak tawa dan sayang namun hati yang hancur dan putus asa juga menjadi bagian yang niscaya dari proses menjadi manusia. Apalagi di masa yang sangat tidak menentu. Pada akhirnya mereka memang tidak bisa bersatu menjadi suami istri namun keterhubungan mereka melalui romantisme masa lalu dan cara mereka memperlakukan masa kini dan menyambut masa depan membuat hubungan mereka bertahan dengan cara yang santun.  
Karena dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan keadaan sosial politik di Indonesia (1934-1944 masa penjajahan Hindia Belanda, 1945-1950 masa mempertahankan kemerdekaan dan diplomasi, 1968-1978 masa Orde Baru), pembaca dapat melihat kontrasnya kedaan yang menjadi latar belakang dan bagaimana keadaan tersebut juga mempengaruhi pergulatan batin yang dialami oleh karakter Teto dan Atik.
Sungguh buku ini membukakan mata akan rumitnya perjalanan hidup manusia yang kerapkali bisa mengendalikan nuraninya namun di sisi lain sering juga kalah oleh egonya. Lama kelamaan, sering karena waktu, seorang manusia akan lebih memiliki kekuatan dan kendali terhadap nurani dan egonya. Buku ini penuh berisi dialog antara Teto dengan dirinya untuk menimbang sesuatu atau sekedar meyakinkan diri bahwa yang dilakukannya sudah benar walaupun terkadang ia tahu kalau sebenarnya salah. Hal yang akrab dengan pengalaman sebagai manusia.
Buku ini pertama kali terbit tahun 1981 dan mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Sejauh ini, Burung-burung Manyar adalah karya YB. Mangunwijaya yang paling sering saya dengar dibicarakan. Selamat membaca!


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya baru saja menamatkan Burung-Burung Manyar. Sungguh, Romo Mangun menuliskannya dengan kejujuran yang tulus, serta keinginan untuk memberikan informasi sejarah Indonesia. Buku ini banyak memuat hikmah yang sangat dalam. Saya kira buku ini sewajarnya menjadi buku wajib untuk dibaca warga negara Indonesia. :)

Sri Sumaryani mengatakan...

Setuju sekali, Mas Agung. Semoga banyak generasi muda Indonesia yang memiliki akses untuk membaca buku ini.