Rabu, 21 Agustus 2013

SINDROM


Ada sindrom baru yang menyerang saya. Lebih tepatnya cara berpikir saya. Sindrom ini merangsang saya untuk membuat kesimpulan bahwa hari yang lalu terlihat lebih baik. Ini bukan berarti saya tidak bersyukur dengan apa yang saya alami dalam hidup selama 24 tahun ini. Hanya saja, akhir-akhir ini saya cenderung merasa sering membandingkan segala sesuatu di sekitar. Tiba-tiba saya menjadi seseorang yang  memperhatikan orang-orang di lingkup hidup saya. Kemudian semuanya selalu berujung pada kesimpulan bahwa orang-orang ini lebih menyenangkan beberapa tahun yang lalu dan keadaan di tempat-tempat itu lebih menyenangkan dua tahun yang lalu. Seolah masa lalu punya kapasitas yang lebih besar untuk membawa kebahagiaan bagi hidup dibandingkan masa kini.
Ada kecenderungan dalam diri saya masa lalu terlihat lebih jujur dan penuh optimisme. Ada seorang teman yang pernah bilang bahwa masa muda selalu penuh dengan mimpi-mimpi dan hal tersebut membuatmu merasa hidup. Your life seems complete katanya. Namun semakin menua, perlahan akan timbul kesadaran bahwa tidak semua mimpi di masa lalu bisa dicapai dengan mudah. Kemudian orang mulai lupa dengan idealisme di masa muda dan berganti prinsip untuk lebih fokus mengikuti ke mana arus hidup membawa mereka. Lebih realistis katanya.
Entah sudah berapa kali kalimat macam “Semakin tua, kamu akan semakin lupa dengan idealisme di masa muda” diucapkan beberapa orang dari beragam profesi kepada saya. Frekuensi diucapkannya kalimat macam itu semakin meningkat seiring bertambah dewasanya saya. Dulu saya tak merasa perlu untuk memikirkannya, tapi semakin ke sini, semakin ada semacam desakan untuk mempertanyakan kebenaran pertanyaan tersebut. Saya lihat sekitar. Saya amati orang-orang di sekitar saya. Lalu saya mulai sadar bahwa ada perbedaan besar dalam diri mereka. Sebelumnya tak pernah saya berpikir tentang perubahan tersebut. Namun sekali memutuskan untuk mencoba mengamatinya, segalanya tampak jelas. Si A semakin serius dan lebih jarang melempar joke seperti saat masih sekolah. Si B sering bercerita tentang macam-macam pekerjaan yang menurutnya menghasilkan pundi-pundi materi yang tidak sedikit. Si C bercerita banyak hal tentang anaknya yang mulai tumbuh besar dan suami yang sangat perhatian. Saya pikir ia dulu akan jadi seorang akademisi karena kepintarannya yang di atas rata-rata. Si D menjadi sangat suka membuat kalimat-kalimat bijak tentang hidup di media sosial. Semuanya terlihat sangat relistis, aktif, dan berkejaran dengan waktu. Dan mereka terlihat berbeda.
Di mana masa lalu? Seolah tiap orang sudah siap di garis start untuk memulai sebuah perlombaan kehidupan. Entah apa yang dikejar. Dalam perlombaan ini, tiba-tiba semua orang menjadi lebih berpengalaman dari yang lain. Lebih pintar dari kebanyakan, dan lebih percaya diri untuk mengeluarkan statement yang berisi petuah dan kebijakan hidup. Saya juga mengejar banyak hal dalam hidup. Saya manusia normal yang punya banyak cita-cita. Dan saya merasa sendiri karena merasa seolah sayalah yang tak pernah berubah. Inilah alasan kenapa saya sangat merindukan masa-masa sebelum hari ini.
Ada rasa takut saat ini. Tak pernah saya merasa nyaman dengan orang-orang yang tidak saya kenal. Tapi akan lebih takut saya jika mengetahui orang-orang yang dulunya saya pikir saya kenal ternyata telah jauh berubah.
Mungkin saya yang salah. Mungkin saya harus mulai merobek dinding kebijaksanaan versi saya dan menghadapi hari ini dengan penuh semangat seperti mereka. Passionate, proud, grasping. Mencoba untuk lebih realistis tentang hidup, kata beberapa di antara mereka pada saya. Juga menyadari bahwa idealisme tidak bisa dipertahankan sampai mati. Ia bukan hal yang rigid, namun fleksibel. Dan bahwa cita-cita kadang tak selamanya bisa diraih. Cita-cita yang mungkin diwujudkan adalah yang paling dekat dari jangkauan. Lain daripada itu hanyalah angan-angan belaka. Tataplah masa depan lewat hari ini dan mulailah bersikap realistis.
Inikah saya? Mirip Gil dalam Midnight in Paris yang terjebak dalam era favoritnya di 1920an dan menganggap bahwa masa lalu ternyata lebih menyenangkan. Padahal orang-orang dari masa tersebut memiliki sindrom yang sama, mengagungkan era Belle Epoque di 1890an. Siklus ini tak akan pernah habis dikejar. Jadi akan lebih realistis ketika memutuskan berani untuk bersikap di hari ini walaupun konsekuensinya kamu harus berubah.
Benarkah? 

Tidak ada komentar: