Selasa, 25 Oktober 2016

SEBUAH KISAH DALAM SEPORSI BALUNGAN



seporsi balungan Bakmi Mbah Atmo Wates


Adakah dari teman-teman yang suka balungan atau bebalungan? Bagi yang sama sekali belum pernah makan apalagi mendengar menu ini, luangkanlah sejenak waktu kalian untuk menyimak deskripsi saya karena niscaya tidak sia-sia. Balungan atau bebalungan memiliki kata dasar bahasa Jawa “balung” yang dalam bahasa Indonesia berarti “tulang”. Jadi, balungan pada dasarnya adalah tulang belulang, biasanya ayam, yang dimasak dengan cara ditumis dengan sedikit kuah berisi rempah-rempah khas Jawa sehingga menghasilkan sensasi goyang lidah saat dinikmati.
Balungan sangat mudah ditemukan di semua penjuru Jogja, tersebar di delapan arah mata angin. Kalian hanya perlu menyambangi kedai-kedai atau warung-warung bakmi jowo favorit. Harganya juga terjangkau. Berkisar dari 10-15 ribu. Menu ini biasanya bisa dipesan walaupun tidak ada di daftar menu tempat makan tersebut. Lho, kok bisa? Bahan utama balungan adalah sisa-sisa tulang ayam yang dagingnya sudah dikrokoti untuk membuat bakmi godhog (rebus) atau bakmi  goreng. Tulang-tulang ini sebenarnya nasibnya sudah digariskan, yaitu masuk tong sampah atau jadi santapan kucing. Hal inilah yang mungkin membuat para pedagang bakmi jowo tidak enak untuk memajang menu ini dalam daftar menu mereka. “Wong barang sisa kok mau dijual”. Mungkin begitu batin mereka. Akan tetapi, berhubung orang Jawa masih merupakan bagian dari orang Indonesia, pasti ada saja ide kreatif yang muncul sehingga berubahlah nasib tulang-tulang tersebut. Pada dasarnya, saat para pedagang ngrokoti daging dari tulang-tulang ayam, tulang-tulang tersebut tidak benar-benar bersih dari daging. Masih ada saja daging yang tertinggal. Daging-daging tempelan itulah yang menjadi buruan utama para penggemar balungan di manapun mereka berada.
Untuk membuat balung-balung tadi terlihat layak dikonsumsi (ya masa tulang ayam bekas dicantelin di paku atau bendrat gerobak tukang bakmi jowo langsung dimakan) dan memiliki citarasa tinggi, dimasaklah balung-balung tersebut. Sepengetahuan saya, cara para pedagang bakmi jowo memasak balungan bisa dibedakan menjadi tiga jenis: dibuat manis, gurih, dan gurih manis. Saya paling sering membeli menu tersebut di tukang-tukang bakmi jowo yang ada di Wates, kota di mana keluarga saya tinggal. Ada dua warung bakmi jowo yang rasa balungannya tidak pernah mengecewakan. Yang pertama adalah Warung Bakmi Kang Marjo yang lokasinya persis berada di depan SD Muhammadiyah Wates dan Warung Bakmi Jowo Mbah Atmo yang berlokasi juga persis di depan TK Theresia Pengasih. Balungan di lokasi pertama rasanya paling enak kalau tanpa kecap sehingga balungannya lebih baik dipesan dengan rasa gurih. Kalian bisa khusus meminta pada penjualnya. Biasanya balungan bisa diambil setelah pukul 10 atau 11 karena harus menunggu ayam yang digunakan habis dicopoti dagingnya. Untuk warung yang kedua, jangan kaget kalau tiba-tiba penjualnya bilang tidak ada/tidak jual balungan. Entahlah apa alasannya. Padahal rasanya enak karena kombinasi pedas-manis-gurihnya sangat pas. Menurut adek saya, bisa saja balungannya sudah dipesan oleh orang lain sehingga penjualnya menolak menjual pada kami. Tapi masa setiap datang, bahkan pada saat jam-jam awal dan kami berusaha memesan terlebih dahulu, balungan tetap dikatakan tidak dijual. Sejujurnya, saya sudah kangen dengan balungan a la Mbah Atmo. Tapi ya sudahlah.
Nahh, di luar aspek rasa, usaha mencari daging yang masih tertinggal di balungan bisa menjadi sebuah ajang untuk menghangatkan dan mempererat hubungan antar anggota keluarga lho. Bagaimana bisa? Keluarga saya sudah membuktikannya.
Seporsi balungan biasanya berisi tulang yang banyak. Kalau dimakan sendiri sebenarnya bisa, tapi apa ya kalian tidak kasihan dengan lipatan perut yang semakin baggy dari hari ke hari itu? Nikmatnya ngrokoti balungan semakin terasa kalau disantap bersama. Apa saja keuntungan yang bisa didapatkan saat menyantap balungan bersama keluarga?
1.       Kebersamaan yang Aktif
Memang ada kebersamaan yang pasif? Ada dong! Apa namanya kalau kalian sedang dalam posisi diajak ngobrol dengan orang tua namun disambi main ponsel. Kalian ada namun juga tiada di saat yang bersamaan. Kalian membagi jiwa, raga, dan perhatian ke dua dimensi yang berbeda sehingga percakapan yang terjadi mungkin saja hanya berjalan satu arah, monoton, dan tidak responsif. Orang tua merasa disepelekan namun Anda merasa tidak menyepelekan karena konon katanya telepon seluler yang pintar itu kini tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan keseharian kita, bahkan saat kita berinteraksi langsung dengan orang.
Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi saat kalian menyantap balungan. Kalian tidak akan mungkin tega menjamah telepon seluler pintar kesayangan dan membuat casingnya nglengo atau berminyak. Otomatis, kalian 100% berada dalam kebersamaan tersebut. Tidak ada lagi alasan mengaktifkan fake calls atau meminta teman lewat WA untuk segera menelepon Anda di saat-saat muncul pertanyaan serius, seperti kapan lulus dan setelah lulus mau apa.
2.      Masalah Penting Bisa Dibahas dengan Santai
Percaya tidak kalau keputusan Adek saya antara akan melanjutkan studi atau langsung kerja selulus S1 diambil saat dia, Ibuk, dan saya makan balungan? Nyatanya, itulah yang terjadi. Sensasi saat ngrokoti tulang mampu membuat kalian berada dalam kondisi yang sangat santai. Proses ngrokoti tulang adalah salah satu sinonim dari kenikmatan. Inilah alasannya kenapa beberapa orang yang saya kenal lebih memilih kepala atau ceker daripada dada ayam. Sensasinya itu lho!
Saat kalian tidak sedang stress, kalian cenderung tidak merasa cemas. Absennya rasa cemas tersebut bisa membantu kalian untuk membuat keputusan yang rasional tentang sesuatu. Banyak artikel neuroscience yang membahas masalah ini. Cari saja dengan kata kunci “Anxiety Causes Irrational Thoughts”. Bagaimana bisa kalian stress di saat makan enak? Hal inilah yang kemungkinan membuat keputusan-keputusan rasional yang mengubah dunia bisa saja muncul di meja makan seseorang atau restoran. Sudah saatnya menjadikan meja makan sebagai ruang diskusi! Dan balungan sebagai menu utamanya!
3.      Makan Ayam Tengah Malam? Kenapa Tidak?
Ibuk saya merupakan salah satu orang yang sangat menjaga apa yang dikonsumsi oleh buah hatinya saat mereka berada di rumah (kalau nggak di rumah dan dalam pengawasan, anak-anaknya bisa makan apa saja hahahahaha). Beliau suka parno kalau kami makan terlalu banyak ayam atau fast food sehingga di rumah saya selalu mudah untuk menemukan sayur, buah, dan ikan karena Ibu saya setiap pagi rajin pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja.
Anehnya, Beliau tidak pernah protes kalau kami, saya dan Adek, membeli balungan malam-malam. Padahal makan malam hari menurut ahli kesehatan tidak baik, apalagi kalau yang dimakan ayam. Nahh, ternyata Ibu saya punya jawaban untuk itu. Ayam yang digunakan untuk balungan biasanya adalah ayam kampung, bukan ayam petelur. Tentu saja lebih sehat. Dan soal makan tengah malam, kalau yang dimakan hanyalah serpihan-serpihan daging unyu yang masih keukeuh nyempil di tulang, what’s the worst that could happen? Kecuali kalau kalian mengonsumsinya tiap malam dan tidak cukup hanya 1 porsi.
Bagaimana bisa hubungan antara para anggota keluarga tidak dekat dan hangat satu sama lain jika semuanya sering makan balungan? Tangan dan mulut yang klomoh kuah merupakan metafora tidak adanya sikap sok-sokan antar keluarga, tidak ada hal yang disembunyikan dalam keluarga. Mungkin bisa juga dipraktikkan untuk hubungan yang lain, seperti hubungan bisnis atau hubungan percintaan. Sayangnya, saya belum pernah mempraktikannya di dua area tersebut. Bagaimana? Tertarik untuk mencoba balungan? Membayangkannya sekarang saja sudah bikin ngiler. Segeralah bergerilya ke warung-warung bakmi jowo terdekat! 

Tidak ada komentar: