Selasa, 27 Desember 2016

SEBUAH PENDAPAT UNTUK SING STREET

Apakah kalian suka film musikal? Apa film musikal favorit kalian? The Sound of Music? West Side Story? Mamma Mia!? Mulai sekarang, nampaknya kalian harus mempertimbangkan penambahan satu judul lagi dalam daftar film musikal yang harus ditonton sebelum mati. Siapa tahu film ini bisa jadi favorit kalian. Judulnya Sing Street. Sebagai penggemar film musikal, radar saya tidak mampu membaca keberadaan film ini sampai pertengahan Desember 2016. Itu pun karena saya tidak sengaja membaca daftar nominasi Golden Globe 2017. Padahal film ini sudah diedarkan sejak Maret 2016. Duuhh, ke mana saja saya? Mungkin karena Sing Street merupakan film indie sehingga pemasaran dan reviewnya tidak seheboh film-film Hollywood.

Sing Street merupakan film ke-sekian John Carney, sutradara Once dan Begin Again yang juga merupakan film musikal. Once sudah lama menjadi favorit saya sedangkan Begin Again menurut saya terlalu Hollywood, apalagi dengan adanya Keira Knightley, Mark Ruffalo, dan Adam Levine sebagai pemainnya. Saya lebih suka saat Carney menggunakan aktor dan aktris yang belum terkenal seperti yang dilakukannya dalam Once (nama Glen Hansard tentu saja diketahui banyak orang tetapi dia bukan aktor dan juga bukan super star seperti Levine) dan Sing Street. Alasannya, mereka membuat penonton seperti saya yang merupakan orang biasa lebih memaknai kisah mereka yang umumnya juga digambarkan Carney sebagai orang biasa.  

Anyway, film ini bersetting tempat di Irlandia pertengahan tahun 80an ketika negara tersebut sedang dilanda resesi parah yang menyebabkan banyak generasi mudanya berimigrasi ke Inggris untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Selain berdampak pada anak muda, resesi ini juga memaksa sebuah keluarga di Dublin mengeluarkan anak bungsu mereka yang bernama Conor dari sebuah sekolah Jesuit prestisius dan memindahkannya ke sekolah Katolik bernama Synge Street yang biayanya lebih rendah. Sekolah tersebut adalah sekolah khusus anak laki-laki yang isinya mayoritas susah diatur dan tukang bully.

Untuk mengalihkan perhatian dari suasana sekolah baru yang dibencinya sekaligus untuk menarik perhatian seorang cewek yang ditaksirnya, Conor memutuskan untuk membuat sebuah band bersama teman-teman barunya yang juga sekolah di Synge Street: Darren yang jadi manajer mereka, Eamon si maniak kelinci, Ngig yang menjadi satu-satunya anak berkulit hitam di sekolah mereka (dan mungkin di seluruh Dublin kata Darren), Larry yang bertugas menggebuk drum, serta Garry si pembetot bas. Sepakat menamai band mereka Sing Street, mereka latihan selama 2 kali seminggu dan membuat video untuk tiap lagu yang mereka ciptakan. Tentu saja semua video tersebut dibintangi oleh cewek bernama Raphina yang ditaksir Conor.

Film ini keren banget karena menggambarkan proses bermusik anak-anak remaja yang dipengaruhi oleh banyak musisi di tahun 80an seperti Duran Duran, Spandau Ballet, dan The Cure. Ada beberapa lagu dari musisi-musisi tersebut yang dijadikan original soundtrack film ini. Favorit saya adalah “Stay Clean”nya Motorhead dan “Maneater”nya Daryl Hall and John Oates. Karena ini film musikal, tentu saja ada beberapa lagu yang dibuat khusus untuk film ini dan dimainkan oleh Sing Street. Yang paling saya suka berjudul “Up” dan sampai sekarang saya nggak bisa berhenti memasangnya di playlist.

Sebenarnya merupakan sebuah kesalahan ketika saya melabeli film ini dengan hanya genre musikal karena walaupun musik merupakan aspek yang tidak terpisahkan dalam film ini, ada juga unsur drama dan komedi. Unsur komedi paling banyak ditemukan di awal film, terutama saat proses pencarian personil band dan pembuatan video (kalian harus memperhatikan bagian akhir dari video mereka yang berjudul “The Riddle of the Model”) sedangkan unsur drama dominannya terdapat di bagian tengah dan akhir film. Jika unsur komedi disebabkan oleh tingkah beberapa karakter, unsur drama dalam film ini lebih fokus pada kehidupan Conor. Selain perlakuan keras yang harus diterimanya dari Brother Baxter, gurunya, di usia remaja Conor juga harus menghadapi perpisahan ayah dan ibunya serta cintanya pada Raphina yang awalnya bertepuk sebelah tangan.

Semua pengalaman tersebut ia tuangkan dalam lirik lagu bandnya sebagai upaya untuk keluar dari kesedihan dan tekanan yang diterimanya di sekolah dan di rumah, seperti “Brown Shoes” yang berisi lirik yang isinya melawan dominasi Brother Baxter padanya serta “Drive It Like You Stole It” yang menggambarkan pertengkaran antara ayah ibunya yang intensitasnya semakin sering ia dengar serta bayangan idealnya tentang di mana ia dan bandnya seharusnya memainkan lagu tersebut: dalam sebuah pesta prom yang dihadiri oleh orang-orang yang dicintainya.

Pada akhirnya, Conor memutuskan untuk membawa hidupnya ke arah yang ia mau dengan berimigrasi ke Inggris bersama Raphina menggunakan speedboat. Keputusan ini tentu sarat dengan resiko, mereka bisa saja mati dalam perjalanan. Belum lagi kegagalan yang mungkin mereka hadapi di Inggris nanti karena hanya bermodalkan nekat. Namun, jiwa muda mereka yang berisi semangat dan keberanian mampu mengalahkan bayang-bayang negatif yang mungkin akan mereka temui. Dalam taraf tertentu, keputusan Conor dan Raphina bisa memberikan efek positif pada penonton film ini sehingga saat kelar menonton Sing Street, kalian kemungkinan besar akan 40% semakin percaya pada keputusan yang akan kalian ambil. Setidaknya, itu yang saya rasakan pasca menonton film ini. Selain itu, saya juga jadi kecanduan dengan musik dekade 80an. Selamat menonton!



 Sumber gambar: https://www.pinterest.com/sydneyrosebud/sing-street/

Tidak ada komentar: