Kamis, 14 Maret 2013

TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN



Nama Dwitunggal Soekarno-Hatta dan Triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan ketiganya dinobatkan sebagai bapak bangsa. Sebenarnya ada sebuah nama lagi yang samar-samar pernah terdengar tapi sosoknya masih kabur. Dialah Tan Malaka, penggagas ide Republik Indonesia yang buku-bukunya menjadi acuan para pemuda revolusioner yang turut serta dalam perjuangan awal merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme. Salah satu dari para pemuda ini adalah Soekarno.
Tan Malaka adalah seorang putra Minang. Nama aslinya adalah Ibrahim. Di usia yang belum genap 17, ia menerima gelar Datuk Tan Malaka. Gelar tersebut diperuntukkan bagi anak tertua keluarga Simabur yang diwariskan secara turun-temurun sebelum sang ayah meninggal sehingga nama lengkapnya pun menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia bersekolah di Sekolah Raja di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) dan setelah lulus, dengan bantuan gurunya yanag bernama G.H. Horensma, ia dapat meneruskan pendidikannya ke Kweekschool (sekolah guru) di Haarlem, Belanda. Biaya untuk melanjutkan studinya didapatkan dari patungan para pemuka warga di kampungnya. Mereka mengumpulkan f 30 per bulan. Biaya ini dihitung sebagai utang dan saat pulang nanti, Tan harus membayar dengan uang gajinya. Pada akhirnya ia tak bisa membayarnya karena gagal menjadi seorang guru. Ia menjadi seorang revolusioner yang bertualang dari satu negara ke negara lain.
Petualangannya menjadi seorang revolusioner dimulai saat ia mendengarkan diskusi hangat teman-teman satu kostnya. Sejak saat itu, ia rajin menyelami pemikiran-pemikiran politik dan mendapatkan informasi terkait melalui buku dan berbagai macam surat kabar yang akhirnya membuatnya tertinggal di pelajaran sekolahnya.  Ia juga mulai aktif menghadiri rapat-rapat yang sering diadakan Himpunan Hindia. Tan memutuskan pulang ke Indonesia tahun 1919.
Di Indonesia, Tan menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh Belanda di Deli. Di sana ia melihat penderitaan kuli kontrak dan sering menampung keluh-kesah mereka. Minimnya pendidikan membuat kuli-kuli buta huruf ini terjerat kontrak yang tak mereka pahami. Melihat kenyataan tersebut, Tan bermimpi untuk mendirikan sebuah sekolah yang pada akhirnya terwujud berkat dukungan Sarekat Islam. Ia mendirikan sekolah rakyat bersama dengan Semaun yang merupakan tokoh Sarekat Islam Kiri. Di sekolahnya, selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum seperti menulis dan berhitung, ia juga mengenalkan organisasi dan demokrasi. Sekolah dengan gaya seperti ini menginspirasi didirikannya sekolah-sekolah serupa di berbagai kota.
Pemerintah kolonial Belanda membuangnya ke Belanda karena dituduh menjadi dalang pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Di Belanda, ia mulai aktif di Partai Komunis Belanda. Ia sempat berpidato di Kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-4 di Moskow. Isi pidatonya mengenai aliansi komunisme dengan Pan-Islamisme. Selama ini komunisme menganggap Pan-Islamisme sebagai representasi imperialisme padahal Pan-Islamisme juga sedang berjuang melawan imperialisme. Pandangannya ini turut mewarnai jalan perjuangannya saat sampai di Indonesia nanti. Idenya untuk merangkul golongan Islam dianggap menghianati cita-cita komunisme. Ia dianggap menyimpang dari perjuangan utama kaum Bolsyewik dan disebut sebagai pengikut Tolstoy. Tujuan utamanya memang bukan membebaskan tanah airnya dari sistem masyarakat berkelas-kelas tapi menyatukan mereka untuk mencapai Republik Indonesia yang diidam-idamkannya. Tan menulis konsep Republik Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).
Setelah tinggal di Rusia, ia kemudian memulai perjalanan panjangnya menjadi wakil Komintern di Asia Timur dan pelarian di beberapa negara Asia seperti China, Filipina, Singapura, Thailand, Burma, Singapura, dan Malaysia. Saat di Kanton (sekarang Guangzhou), ia sempat bertemu dengan dr. Sun Yat Sen yang dikaguminya. Saat di Filipina ia sempat menjadi kontributor harian El Debate. Saat di Thailand, ia sempat mendirikan Partai Republik Indonesia namun partai ini mati suri. Ia sering tertangkap namun biasa meloloskan diri. Tuduhannya menjadi agen Bolsyewik dari Jawa. Selama periode ini, ia menggunakan paling tidak 7 nama samaran dan 13 alamat yang berbeda.
Tan memutuskan untuk pulang ke tanah air dan memulai sepak terjangnya. Tahun 1942, Tan tinggal di Rawajati dan di tahun berikutnya mendaftar sebagai kerani (juru tulis) di pertambangan batu bara yang dikelola Jepang di daerah Bayah, Banten. Ia menggunakan nama alias Ilyas Hussein. Saat itu pulalah ia mulai menulis sebuah buku yang dianggap sebagai karya terbesanya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Rizal Adhitya Hidayat, pengajar di Universitas Esa Unggul dan peneliti Lemhanas, mengatakan bahwa Madilog merupakan sintesa pemikiran Hegel yang mengedepankan ide sebagai kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) dengan pemikiran Marx-Engels tentang materialisme. Tan mensintesakan keduanya dalam rangka mencapai sebuah masyarakat yang berbudaya pasif menjadi kelas sosial baru yang berlandaskan sains dan bebas pikiran mistis.
Persinggungannya dengan kuli-kuli romusha saat bekerja sebagai juru tulis di Banten mengobarkan semangat perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia. Ironis karena dia malah tidak terlibat dalam deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia sama sekali tidak tahu saat proklamasi dibacakan. Namun, Tan sangat mendukung Republik yang baru berdiri itu. Ia adalah salah satu tokoh yang menggerakkan massa dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk menggalang dukungan rakyat terhadap proklamasi yang dengungnya belum begitu keras.
Walaupun tidak terlibat langsung dalam proklamasi kemerdekaan RI, Tan merupakan sosok yang dipercaya Soekarno. Pada 30 September 1945, Soekarno mengadakan sebuah pertemuan yang dihadiri Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, dan Gatot Taroenamihardjo di kediaman Ahmad Subardjo. Isi dari pertemuan tersebut adalah kesepakatan memilih Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu dengan Soekarno-Hatta. Soekarno kemudian menemui Hatta dan menyampaikan hasil pertemuan. Hatta tidak menyetujuinya dengan alasan bahwa Tan Malak adalah tokoh kiri. Hal ini pasti akan menimbulkan gejolak politik. Hatta mengusulkan bahwa penerus revolusi harus berasal dari 4 kutub sehingga dipilihlah Tan Malaka (kiri), Sutan Sjahrir (kiri-tengah), Wongsonegoro (kanan-feodal), dan Soekiman (Islam). Soekarno menyetujui usul ini.
Dalam pertemuan 1 Oktober, posisi Soekiman diganti dengan Iwa dengan pertimbangan bahwa Iwa yang merupakan sahabat Soekiman dekat dengan kelompok Islam. Kemudian surat wasiat diketik, dibuat rangkap 3, dan ditandatangani Soekarno-Hatta. Soebardjo diamanahi untuk memberikan wasiat tersebut kepada Sjahrir dan Wongsonegoro namun pada akhirnya wasiat tersebut tak sampai. Diduga ini karena Subardjo kecewa Tan Malaka bukan calon pewaris tunggal. Namun Soebardjo dalam bukunya, Kesadaran Nasional, menyangkal dengan mengatakan bahwa situasi revolusi yang tak menentu menghambatnya untuk menyerahkan wasiat tersebut.
Dalam mewujudakan cita-citanya, Tan sangat anti kompromi dengan penjajah, baik Jepang maupun Belanda. Oleh karenanya, berseberangan dengan Sekarno-Hatta-Sjahrir yang memilih jalan diplomasi. Bersama Soedirman (Jend.), Tan berada dalam garda terdepan dilakukannya perang gerilya. Ia juga pernah dipenjara karena dituduh akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Setelah dibebaskan pada 1948, ia mendirikan Partai Murba.
Saat bergerilya melawan agresi militer Belanda di Selopanggung, Kediri, ia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur. Menurut sejarawan Belanda yang menghabiskan 36 tahun untuk meneliti Tan Malaka, Harry A.Poeze, Soekotjo salah menafsirkan perintah Panglima Soengkono yang mengatakan “hukum militer” sebagai “tembak mati” pada 21 Februari 1949. Tan diburu karena ia dituduh melawan Soekarno-Hatta. Sebenarnya teori tentang kematian Tan Malaka ada berbagai versi, namun sebagai pembaca, saya menggunakan versi Poeze dengan pertimbangan Poeze telah sekian lama memfokuskan diri pada penelitian tentang Tan sehingga memiliki teori dan pertimbangan paling kuat saat menyebutkan penyebab kematian Tan.
Sosok Tan Malaka selama ini dipercaya sebagai tokoh komunis sehingga namanya dihapus dalam buku sejarah Orde Baru untuk mengecilkan jasanya. Pada kenyataannya, ia sendiri ditolak oleh rekan-rekan seperjuangannya di PKI karena dianggap menghianati perjuangan dengan membela golongan Islam dan dituduh menjadi dalang gagalnya pemberontakan PKI pada tanggal 12 November 1926-12 Januari 1927. Saat itu Tan masih berada di Filipina sebagai agen Komintern yang dikejar-kejar polisi internasional. Padahal Tan sudah sedari awal menolak pemberontakan tersebut karena tahu akan gagal. Ia beranggapan bahwa saat itu PKI belum siap.
Sosoknya yang jarang ditampilkan namun berandil besar dalam sejarah Republik ini juga dilukiskan dalam sebuah roman bertema spionase yang terisnpirasi oleh kehidupan revolusionernya yang berjudul Patjar Merah Indonesia karangan Hasbullah Parindurie yang menulis dengan nama samaran Matu Mona. Banyak orang yang menyamar menjadi dirinya karena karisma yang dimunculkannya lewat perjalanan hidupnya mengembara di berbagai negara mampu menginspirasi banyak pemuda kala itu dan membuat beberapa pihak ingin memanfaatkannya.
Pada akhirnya, saya harus berterima kasih kepada Tempo karena telah berjasa untuk membawa kembali sosok Tan Malaka ke hadapan masyarakat Indonesia yang selama ini kehilangan bayangan tentangnya. Tan layak disebut sebagai bapak bangsa karena pemikiran orisinilnya yang ia tuangkan dalam buku-bukunya serta prinsipnya yang kuat untuk tidak mau berdiplomasi dengan Belanda. Walaupun ia sedikit berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional lainnya karena selalu memilih di balik layar, perannya yang besar sampai kemudian dipercaya Soekarno sebagai pewaris perjuangan tidak bisa dinafikkan.
Tempo menyusun cerita kehidupan Tan tidak secara kronologis. Mungkin dengan tujuan agar pembaca mengenal peran utamanya terlebih dahulu bagi republik ini sekaligus menjawab teka-teki terbesar tentang siapa sebenarnya orang Minang ini. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: