Pramoedya
Ananta Toer pernah menulis di salah satu bukunya bahwa satu hal yang membuat
seseorang abadi walaupun ia telah meninggalkan dunia yang fana ini adalah
tulisan. Lewat tulisan, pemikiran dan karya sesorang masih dapat dinikmati dan
diambil manfaatnya sampai jauh di kemudian hari, dan bahkan juga menginspirasi.
Agaknya hal tersebut berlaku bagi Rosihan Anwar. Karirnya yang panjang sebagai
wartawan beberapa zaman beruntung tidak menghilang begitu saja. Selain dikenal
sebagai pengingat ulung, Rosihan Anwar juga dikenang sebagai pengarsip yang
cukup rajin. Beberapa yang ia arsipkan adalah karya tulis pribadinya yang
terdiri dari reportase, resensi, naskah pidato, maupun karya sastra.
Sejarah Kecil Petite Histoire yang sampai saat ini sudah sampai
jilid keenam merupakan salah satu peninggalannya yang didapatkan dari
mengumpulkan arsip-arsip karya pribadinya. Jilid kedua agak berbeda dari jilid
1 dan 3 yang pernah saya baca karena di jilid kedua, sumber-sumber yang
digunakan Rosihan Anwar berasal dari pengalaman pribadinya. Tiap judul dalam
buku ini adalah hasil pengamatan, perenungan, atau reportasenya terhadap suatu
hal yang menurut saya tidak banyak orang yang tahu atau sudah tahu namun mulai
melupakannya. Tentu saja bukan melupakan yang disengaja. Oleh karena itu, kumpulan
tulisan dalam buku ini memiliki fungsi menyegarkan ingatan kita tentang sejarah
yang mungkin pernah kita baca dulu pada suatu ketika dan karena keterbatasan ingatan kita sebagai
manusia, mulai terlupakan.
Buku
ini terdiri dari dua bab: “Sejarah Pers, Budaya, beserta Pelakunya” dan “Reportase,
Resensi, dan Promosi”. Bab pertama membahas tentang sejarah kemerdekaan pers di
Indonesia yang meliputi napak tilas surat kabar di masa tersebut dan seluk
beluk kehidupan wartawan, perjalanan hidup Usmar Ismail yang sedikit banyak
merepresentasikan perkembangan dunia layar lebar Indonesia pasca kemerdekaan,
dan sedikit ulasan mengenai sejarah dan kebudayaan singkat Indonesia mulai dari
masa prasejarah sampai ke era pasca reformasi. Bab kedua berisi reportase
Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, perjalanan Nikita Krushchev di
beberapa kota di Indonesia tahun 1960, kesan tentang Lee Kuan Yew dan Presiden
Habibie, serta liputan perjalanan ke Afrika Selatan.
Yang
paling menarik dari bab pertama dan juga merupakan favorit saya dari kedua bab adalah
sejarah persuratkabaran Indonesia yang sudah dimulai bahkan sebelum negeri ini
merdeka. Tercatat ada beberapa surat kabar yang telah terbit reguler seperti Slompret Melajoe (1860-1911) dan Bianglala (1868-1872) walaupun
kebanyakan bersifat nonpolitik dan sebagian besar isinya berupa berita dagang
dan iklan jual beli. Pemiliknya juga mayoritas orang Belanda, Indo, dan Tionghoa.
Saat itu belum ada surat kabar yang didirikan oleh pribumi. Surat kabar pertama
yang diprakarsai oleh pribumi dan telah berani membawa isu-isu politik adalah Medan Prijaji yang terbit tahun 1901.
Pengagas sekaligus editornya adalah RM. Tirtoadisoerjo. Koran ini memiliki
motto Orgaan boeat bangsa jang
terperentah di H.O. (Hindia Olanda) tempat akan memboeka swaranja anak-Hindia.
Sebelum
memproklamirkan kemerdekaannya, lewat tangan golongan pribumi yang teredukasi,
berdirilah beberapa kantor berita, di antaranya: Indonesia Persbureau yang didirikan Ki Hadjar Dewantara saat ia
dibuang di negeri Belanda bersama 2 anggota Tiga Serangkai yang lain dan Antara yang didirikan di Batavia tahun
1937 oleh Adam Malik, Albert Manoempak Sipahoetar, Pandu Kartawiguna, dan Mr.
Soemanang.
Koran-koran
pada masa itu cenderung mengikuti aliran ideologi tertentu dalam menyajikan
reportase. Jadi ada tujuan untuk ikut mengembangkan semangat ideologi tersebut pada
masyarakat. Di antaranya adalah Oetoesan
Hindia yang diasuh oleh Haji Samanhudi dan merupakan representasi dari ideology
Islam, Soeloeh Indonesia Moeda yang
berafiliasi dengan PNI/Partindo, dan Api yang
dikelola PKI.
Bahasa
yang digunakan oleh koran-koran tersebut bervariasi namun saat zaman Jepang,
semua surat kabar harus menggunakan bahasa Indonesia sehingga masa keputusan
Jepang untuk melarang penggunaan bahasa Belanda dalam pemberitaan surat kabar memiliki
andil dalam pengembangan bahasa Indonesia. Di zaman Jepang, tiap kota besar
hanya memiliki satu surat kabar yang isinya sangat dikontrol oleh pihak pemerintah
Jepang, kecuali Jakarta yang saat itu memiliki 2 koran, yaitu Asia Raja yang berbahasa Indonesia dan Kung Yung Pao yang berbahasa Tionghoa.
Selain
informasi mengenai koran-koran di masa kolonial, Jepang, dan pasca kemerdekaan,
Rosihan Anwar juga tidak lupa membubuhkan keterangan singkat para rekan
seprofesinya, wartawan-wartawan Indonesia legendaris, yang terkenal karena
dedikasinya, seperti S.K Trimurti dan Drs. Sosrokartono (adik R.A. Kartini)
yang dikenal sebagai koresponden perang pertama dan seorang polyglot.
Bicara
masalah persuratkabaran Indonesia, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah
undang-undang pers yang membatasi ruang gerak pemberitaan di beberapa era.
Beberapa yang terkenal di antaranya adalah Pers Ordonantie tahun 1931 di zaman
kolonial Belanda dengan sistem pembredelan dan UU No. 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan Pokok Pers dengan Surat Izin Terbit (SIT) di zaman Orde Baru. Oleh
karenanya, menurut Rosihan Anwar, Indonesia dan dunia pers Indonesia harus
berterima kasih kepada Presiden Habibie yang telah menghapuskan surat izin
penerbitan pers atau SIUPP, ketentuan yang sebelumnya harus dijalankan oleh
tiap-tiap surat kabar. Setelah penghapusan SIUPP, dunia pers Indonesia
berkembang pesat dengan segala variasinya.
Untuk
bab kedua, liputan seputar Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di
Bandung tahun 1955 merupakan favorit saya. Karena menjadi salah satu wartawan
yang diundang meliput KAA, Rosihan Anwar memiliki beberapa cerita menarik yang
mungkin sebelumnya belum pernah diketahui oleh masyarakat umum karena selama
ini hanya menjadi koleksi pribadinya. Di antaranya kisah PM Jawarhalal Nehru
yang berusaha meraih kepemimpinan pribadi di konferensi dan membuat delegasi
lain marah, atau PM RRT Chou En Lai yang terkenal bijaksana menengahi perbedaan
pendapat yang muncul dalam menetapkan prinsip perdamaian di antara
negara-negara Asia Afrika.
Liputan
tentang KAA sifatnya formal karena menyangkut hal-hal yang terjadi dalam
persiapan penyelenggaraan, selama sidang, dan perumusan kesepakatan. Sedangkan
liputan tentang kunjungan PM Uni Soviet Nikita Krushchev bersifat lebih santai,
sering sekali diselingi dengan cerita-cerita yang bisa mengundang senyum. Pada
dasarnya, liputan tentang kunjungan Krushchev menceritakan pengalaman Rosihan
Anwar berjumpa para pemburu berita dari negara-negara adikuasa saat itu,
Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan secara tidak langsung menggambarkan posisi
dunia pers Indonesia yang memang saat itu jauh tertinggal di antaranya dari
segi kegesitan dan sifat kritis.
Sedikit
ulasan di atas berasal dari topik-topik favorit saya dalam buku ini. Masih
banyak topik lain yang mungkin menarik untuk para pembaca, seperti perjalanan
karya Usmar Ismail yang juga adalah saudara ipar Rosihan Anwar dan dianggap
sebagai Bapak Perfilman Nasional, atau perjalanan Rosihan Anwar ke Cape Town
yang sarat dengan jejak penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Sheikh Yusuf
Al-Magasari dari Gowa. Pembaca bisa menelusuri cerita-cerita sejarah yang mulai
lekang dimakan keterbatasan ingatan manusia karena tidak dituturkan dan ditulis
secara turun temurun ini. Harapannya, sejarah kecil Indonesia yang pernah
dituturkan oleh Rosihan Anwar bisa menjadi semacam pengingat bahwa kita pernah
menjadi sebuah bangsa yang besar dan pantang menyerah dan dengan pengetahuan
tersebut, semoga paling tidak bisa mengukuhkan dan mengembalikan rasa percaya
diri kita sebagai bangsa besar yang beridentitas. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar