Senin, 01 Juli 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 2


Pramoedya Ananta Toer pernah menulis di salah satu bukunya bahwa satu hal yang membuat seseorang abadi walaupun ia telah meninggalkan dunia yang fana ini adalah tulisan. Lewat tulisan, pemikiran dan karya sesorang masih dapat dinikmati dan diambil manfaatnya sampai jauh di kemudian hari, dan bahkan juga menginspirasi. Agaknya hal tersebut berlaku bagi Rosihan Anwar. Karirnya yang panjang sebagai wartawan beberapa zaman beruntung tidak menghilang begitu saja. Selain dikenal sebagai pengingat ulung, Rosihan Anwar juga dikenang sebagai pengarsip yang cukup rajin. Beberapa yang ia arsipkan adalah karya tulis pribadinya yang terdiri dari reportase, resensi, naskah pidato, maupun karya sastra.
Sejarah Kecil Petite Histoire yang sampai saat ini sudah sampai jilid keenam merupakan salah satu peninggalannya yang didapatkan dari mengumpulkan arsip-arsip karya pribadinya. Jilid kedua agak berbeda dari jilid 1 dan 3 yang pernah saya baca karena di jilid kedua, sumber-sumber yang digunakan Rosihan Anwar berasal dari pengalaman pribadinya. Tiap judul dalam buku ini adalah hasil pengamatan, perenungan, atau reportasenya terhadap suatu hal yang menurut saya tidak banyak orang yang tahu atau sudah tahu namun mulai melupakannya. Tentu saja bukan melupakan yang disengaja. Oleh karena itu, kumpulan tulisan dalam buku ini memiliki fungsi menyegarkan ingatan kita tentang sejarah yang mungkin pernah kita baca dulu pada suatu ketika  dan karena keterbatasan ingatan kita sebagai manusia, mulai terlupakan.
Buku ini terdiri dari dua bab: “Sejarah Pers, Budaya, beserta Pelakunya” dan “Reportase, Resensi, dan Promosi”. Bab pertama membahas tentang sejarah kemerdekaan pers di Indonesia yang meliputi napak tilas surat kabar di masa tersebut dan seluk beluk kehidupan wartawan, perjalanan hidup Usmar Ismail yang sedikit banyak merepresentasikan perkembangan dunia layar lebar Indonesia pasca kemerdekaan, dan sedikit ulasan mengenai sejarah dan kebudayaan singkat Indonesia mulai dari masa prasejarah sampai ke era pasca reformasi. Bab kedua berisi reportase Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, perjalanan Nikita Krushchev di beberapa kota di Indonesia tahun 1960, kesan tentang Lee Kuan Yew dan Presiden Habibie, serta liputan perjalanan ke Afrika Selatan.
Yang paling menarik dari bab pertama dan juga merupakan favorit saya dari kedua bab adalah sejarah persuratkabaran Indonesia yang sudah dimulai bahkan sebelum negeri ini merdeka. Tercatat ada beberapa surat kabar yang telah terbit reguler seperti Slompret Melajoe (1860-1911) dan Bianglala (1868-1872) walaupun kebanyakan bersifat nonpolitik dan sebagian besar isinya berupa berita dagang dan iklan jual beli. Pemiliknya juga mayoritas orang Belanda, Indo, dan Tionghoa. Saat itu belum ada surat kabar yang didirikan oleh pribumi. Surat kabar pertama yang diprakarsai oleh pribumi dan telah berani membawa isu-isu politik adalah Medan Prijaji yang terbit tahun 1901. Pengagas sekaligus editornya adalah RM. Tirtoadisoerjo. Koran ini memiliki motto Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. (Hindia Olanda) tempat akan memboeka swaranja anak-Hindia.
Sebelum memproklamirkan kemerdekaannya, lewat tangan golongan pribumi yang teredukasi, berdirilah beberapa kantor berita, di antaranya: Indonesia Persbureau yang didirikan Ki Hadjar Dewantara saat ia dibuang di negeri Belanda bersama 2 anggota Tiga Serangkai yang lain dan Antara yang didirikan di Batavia tahun 1937 oleh Adam Malik, Albert Manoempak Sipahoetar, Pandu Kartawiguna, dan Mr. Soemanang.
Koran-koran pada masa itu cenderung mengikuti aliran ideologi tertentu dalam menyajikan reportase. Jadi ada tujuan untuk ikut mengembangkan semangat ideologi tersebut pada masyarakat. Di antaranya adalah Oetoesan Hindia yang diasuh oleh Haji Samanhudi dan merupakan representasi dari ideology Islam, Soeloeh Indonesia Moeda yang berafiliasi dengan PNI/Partindo, dan Api yang dikelola PKI.
Bahasa yang digunakan oleh koran-koran tersebut bervariasi namun saat zaman Jepang, semua surat kabar harus menggunakan bahasa Indonesia sehingga masa keputusan Jepang untuk melarang penggunaan bahasa Belanda dalam pemberitaan surat kabar memiliki andil dalam pengembangan bahasa Indonesia. Di zaman Jepang, tiap kota besar hanya memiliki satu surat kabar yang isinya sangat dikontrol oleh pihak pemerintah Jepang, kecuali Jakarta yang saat itu memiliki 2 koran, yaitu Asia Raja yang berbahasa Indonesia dan Kung Yung Pao yang berbahasa Tionghoa.
Selain informasi mengenai koran-koran di masa kolonial, Jepang, dan pasca kemerdekaan, Rosihan Anwar juga tidak lupa membubuhkan keterangan singkat para rekan seprofesinya, wartawan-wartawan Indonesia legendaris, yang terkenal karena dedikasinya, seperti S.K Trimurti dan Drs. Sosrokartono (adik R.A. Kartini) yang dikenal sebagai koresponden perang pertama dan seorang polyglot.
Bicara masalah persuratkabaran Indonesia, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah undang-undang pers yang membatasi ruang gerak pemberitaan di beberapa era. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah Pers Ordonantie tahun 1931 di zaman kolonial Belanda dengan sistem pembredelan dan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers dengan Surat Izin Terbit (SIT) di zaman Orde Baru. Oleh karenanya, menurut Rosihan Anwar, Indonesia dan dunia pers Indonesia harus berterima kasih kepada Presiden Habibie yang telah menghapuskan surat izin penerbitan pers atau SIUPP, ketentuan yang sebelumnya harus dijalankan oleh tiap-tiap surat kabar. Setelah penghapusan SIUPP, dunia pers Indonesia berkembang pesat dengan segala variasinya.
Untuk bab kedua, liputan seputar Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung tahun 1955 merupakan favorit saya. Karena menjadi salah satu wartawan yang diundang meliput KAA, Rosihan Anwar memiliki beberapa cerita menarik yang mungkin sebelumnya belum pernah diketahui oleh masyarakat umum karena selama ini hanya menjadi koleksi pribadinya. Di antaranya kisah PM Jawarhalal Nehru yang berusaha meraih kepemimpinan pribadi di konferensi dan membuat delegasi lain marah, atau PM RRT Chou En Lai yang terkenal bijaksana menengahi perbedaan pendapat yang muncul dalam menetapkan prinsip perdamaian di antara negara-negara Asia Afrika.
Liputan tentang KAA sifatnya formal karena menyangkut hal-hal yang terjadi dalam persiapan penyelenggaraan, selama sidang, dan perumusan kesepakatan. Sedangkan liputan tentang kunjungan PM Uni Soviet Nikita Krushchev bersifat lebih santai, sering sekali diselingi dengan cerita-cerita yang bisa mengundang senyum. Pada dasarnya, liputan tentang kunjungan Krushchev menceritakan pengalaman Rosihan Anwar berjumpa para pemburu berita dari negara-negara adikuasa saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan secara tidak langsung menggambarkan posisi dunia pers Indonesia yang memang saat itu jauh tertinggal di antaranya dari segi kegesitan dan sifat kritis.
Sedikit ulasan di atas berasal dari topik-topik favorit saya dalam buku ini. Masih banyak topik lain yang mungkin menarik untuk para pembaca, seperti perjalanan karya Usmar Ismail yang juga adalah saudara ipar Rosihan Anwar dan dianggap sebagai Bapak Perfilman Nasional, atau perjalanan Rosihan Anwar ke Cape Town yang sarat dengan jejak penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Sheikh Yusuf Al-Magasari dari Gowa. Pembaca bisa menelusuri cerita-cerita sejarah yang mulai lekang dimakan keterbatasan ingatan manusia karena tidak dituturkan dan ditulis secara turun temurun ini. Harapannya, sejarah kecil Indonesia yang pernah dituturkan oleh Rosihan Anwar bisa menjadi semacam pengingat bahwa kita pernah menjadi sebuah bangsa yang besar dan pantang menyerah dan dengan pengetahuan tersebut, semoga paling tidak bisa mengukuhkan dan mengembalikan rasa percaya diri kita sebagai bangsa besar yang beridentitas. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: