Rabu, 10 Juli 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 4

Yang mula-mula menarik perhatian dari buku ini adalah sampul yang bergambar foto jam gadang. Ini berbeda dari tiga buku sebelumnya yang biasanya bergambar lukisan-lukisan yang merepresentasikan bagian-bagian dari sejarah maupun budaya kepulauan Nusantara kita tercinta. Jam gadang mengingatkan saya pada banyak hal tentang sebuah propinsi nun jauh di hampir ujung Sumatra. Bangunan ini merupakan representasi Sumatra Barat yang paling terkenal. Sedangkan Sumatra Barat adalah rumah dari beberapa tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, serta beberapa pengarang terkenal seperti Mochtar Lubis dan A.A. Navis. Mungkinkah ini pertanda bahwa buku ini mayoritas akan membahas segala yang berhubungan dengan bumi Pagarruyung?
Dari 19 bab yang ada dalam Petite Histoire jilid 4 ini, memang ada beberapa bab yang khusus bercerita tentang sejarah perang Pidari/Padri dan juga beberapa anggota keluarga Rosihan Anwar yang memang asli Minang, namun mayoritas bab adalah tulisan dari berbagai isu dan genre.
Bab pertama adalah sejarah dan cerita penyelenggaraan Musyawarah Media Massa Islam Sedunia yang pertama di Jakarta bulan September 1980. Bab kedua berisi tentang kisah Soedjatmoko, intelektual Indonesia yang pernah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo dan anggota delegasi RI pada Dewan Keamanan PBB. Yang paling menarik dari tulisan tersebut bagi saya adalah fakta bahwa kapasitas intelektualitas Koko (panggilan Soedjatmoko) yang tinggi mengenai politik dan filsafat Barat diimbangi dengan pengetahuannya tentang mistis Jawa sehingga ia dianggap oleh George McTurnan Kahin sebagai jembatan antara Barat dan Jawa. Bab ketiga berisi tulisan mengenai Soe Hok Gie, terutama keterlibatan penulis dan Soe dalam Studi Club yang juga diikuti oleh P.K. Ojong dan Onghokham di awal tahun 60an. Ada hal menarik yang disinggung Rosihan, yaitu anggapan Soe bahwa dirinya angkuh dan tertulis dalam buku hariannya yang diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Rosihan nampak tidak terima dengan perlakuan tersebut. Hal lain yang disinggung dalam bab ini adalah definisi revolusi dan pembangunan nasional.
Bab keempat berisi tulisan Rosihan sebagai komunis yang menyoroti status Soekarno dan Hatta yang sebenarnya antikapitalis. Bab kelima sebagai ahli resensi dari otobiografi Ajip Rosidi berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Bab keenam adalah laporannya sebagai reporter di Sri Lanka, Australia, dan Kamboja. Bab 7 sebagai pengarang editorial yang menulis peristiwa 17 Oktober 1952 tentang rasionalisasi tentara dengan mengurangi jumlahnya dari 200.000 menjaadi 100.000 yang kemudian memancing pimpinan tentara untuk melakukan show force dengan mengorganisir demonstrasi orang-orang sipil yang didukung tank serta artileri.
Bab kedelapan tentang pengalaman menjadi penulis di Pos Kota dan C&R. Bab kesembilan berisi tulisan Rosihan Anwar tentang Prof. Koestedjo sebagai pengalaman lain penulis yang juga seorang sejarawan informal. Bab kesepuluh berisi tulisan tentang Angkatan 1945. Rosihan sendiri termasuk golongan angkatan ini. Ia menceritakan pengalamannya menulis sebagai sastrawan dan usahanya mendirikan Siasat dan Gelanggang. Awalnya Gelanggang adalah ruang kebudayaan di majalah Siasat namun lama-lama berkembang dan dapat berdikari. Penamaan Angkatan 45 yang sekarang telah diterima dalam dunia sastra Indonesia muncul pertama kali di ruang kebudayaan tersebut.
Bab kesebelas tentang pra kedatangan presiden Barack Obama ke Indonesia. Bab keduabelas menulis tentang masalah keindonesiaan. Buku yang dijadikan acuan dalam menulis artikel tersebut adalah The Idea of Indonesia: A History (2008) karya R.E. Elson, Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Queensland. Bab ketigabelas tentang tentang fungsi pahlawan nasional di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan dan sangat kontras dengan negara-negara lain yang kebanyakan hanya memiliki satu atau dua tokoh yang dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Bab keempatbelas merupakan bab terpanjang dari buku ini. Isinya menceritakan tentang beberapa anggota keluarga Rosihan Anwar yang merupakan putra asli Minangkabau dan memiliki peran cukup penting di zaman kolonial maupun kemerdekaan. Sebagai contoh, ayah Rosihan yang adalah seorang ambtenaar di Binnenlands Bestuur dan kakak laki-lakinya, Johnny Anwar yang seorang kepala polisi di Padang. Karena kedudukan ayahnya yang cukup tinggi, masa kecil Rosihan cukup terjamin dan menyenangkan. Kisah-kisah tentang kota-kota yang pernah dikunjunginya di masa kecil menuntun kepada perjalanan sejarah dari kota-kota tersebut dan orang-orang di dalamnya. Salah satu yang paling saya suka adalah sejarah gerakan Pidari atau Padri di tanah Minang.
Awal gerakan Pidari dimulai dari kembalinya tiga orang dari menunaikan haji di Mekkah tahun 1803. Ketiganya terkesan oleh ajaran Wahhabi dan mencoba menyebarkan ajaran tersebut. Gerakan ini menentang perjudian, persabungan, candu, minuman keras, pemakaian tembakau dan sirih, dan beberapa aspek dari sistem matriarkal. Namun gerakan ini masih mengizinkan ziarah dan menghormati orang-orang keramat. Saat Thomas S. Raffles mengunjungi ranah Minangkabau tahun 1818, ia menuliskan bahawa daerah tersebut penuh dengan laki-laki dan perempuan yang berpakaian seperti kaum Wahhabi di padang pasir. Ajaran Wahhabi memang  menimbulkan ketegangan antara pemimpin agama dan pemimpin adat. Pemimpin adat biasanya terdiri dari keluarga Istana Pagarruyung. Pada akhirnya, para pemimpin adat atau penghulu ini memutuskan untuk memberikan dukungan pada Belanda.
Perang Padri berlangsung selama 17 tahun (1821-1838) antara Belanda dan kaum Padri. Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Belanda pernah kalah dalam pertempuran di Lintau tahun 1823 karena saat itu bersamaan dengan Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro (1825-1830). Tahun 1837, benteng kota Bonjol menyerah. Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Priangan, Ambon, lalu ke Manado. Ia meninggal di Manado tahun 1864.
Dalam pengasingannya di Manado, Tuanku Imam Bonjol sempat menulis sebuah memoar yang dibukukan dengan judul Naskah Tuanku Imam Bonjol. Jeffrey Hadler, seorang pakar masyarakat dan sejarah Minangkabau, pernah menulis esei panjang berjudul A Historiography of Violence dan the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Uses of History (2008) serta sebuah buku berjudul Muslims and Matriarchs-Cultural (2008). Salah satu sumber Hadler adalah memoar Tuanku. Selain menceritakan awal perjuangannya, termasuk kematian orang kepercayaannya, Datuk Bandaharo, hasil penelitian Hadler yang bersumber dari memoar Tuanku juga menceritakan tentang Tuanku yang limbung saat mengetahui bahwa ajaran Wahhabi yang dianut bersama pengikut-pengikutnya selama ini telah kehilangan kepercayaan di negara asalnya. Kabar ini sampai tatkala kedua sepupunya pulang dari berhaji tahun 1823. Dalam sebuah pertemuan besar, Tuanku menyatakan diri meninggalkan ideologinya selama ini, meminta maaf atas akibat yang ditimbulkan selama perang, dan memberikan ganti rugi.
Tuanku memulihkan kembali keadaan seperti masa sebelum perang. Ia merumuskan sebuah adagium yang terkenal: “adat basandi syarak” dan “syarak basandi adat” yang berarti menjamin bahwa baik hukum Islam maupun adat setempat terkait satu sama lain dan saling bergantung.
Bab kelimabelas menceritakan tentang saudara-saudara Rosihan yang memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah kolonial Belanda seperti kakeknya Raden Mohamad Joesoef yang bekerja sebagai stations chef atau kepala stasiun kereta api Staats Spoorwegen (SS) di Padang  dan pamannya Mohamad Joenoes yang mendapat gelijkgesteld atau persamaan hak dengan orang Eropa. Rosihan Anwar juga masih bersaudara dengan Marah Rusli, sastrawan penulis roman Sitti Nurbaya, dan Roestam Effendi, pengarang dan juga orang Indonesia pertama yang dipilih sebagai anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer) dari Partai Komunis Belanda.
Bab keenambelas adalah liputan tentang pertempuran besar di Surabaya akhir 1945. Pertempuran legendaris tersebut ternyata tidak hanya berisi perjuangan heroik para pemuda, namun juga banyak terdapat sisi kelam yang mungkin tidak banyak diketahui oleh publik. Dalam masa yang disebut sebagai periode bersiap, atau masa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), orang-orang Belanda ditangkap dan dimasukkan dalam penjara Babutan dan Kalisosok. Sebagian di antaranya dikirim ke rumah bola (societeit). Terjadi banyak penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Banyak gadis-gadis Indo yang diperkosa oleh pemuda Indonesia.
Bab ketujuhbelas tentang catatan harian penulis selama enam bulan sejak proklamasi kemerdekaan RI. Ternyata perumusan konstitusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah salah satu masa tersulit yang pernah dihadapi republik ini. Bab kedelapanbelas adalah cerita obrolan penulis dengan H. Junus Jahja (Lauw Chuan Tho), keturunan Tionghoa yang berkiprah dalam dunia politik dan agama Islam di Indonesia. Bab terakhir adalah cerita singkat pengalaman Rosihan Anwar bergabung dalam sebuah kelompok sandiwara di zaman Jepang. Lewat bab ini juga saya jadi tahu bahwa selain “sri panggung”, julukan yang biasanya diberikan kepada bintang panggung sandiwara perempuan, ada juga julukan yang diberikan kepada bintang panggung laki-laki, yaitu “raja jin”.
Dari dua puluh bab dalam buku ini, saya memiliki dua bab favorit, yaitu bab keempatbelas dan tujuhbelas. Bab keempatbelas memberikan suatu sisi lain dari perang Padri, sejarah, dan budaya Minangkabau yang selama ini belum saya tahu. Sedangkan bab ketujuhbelas memberikan gambaran kepada saya betapa bersemangat dan optimisnya orang-orang di zaman tersebut. Saya sampai merinding saat membacanya. Para pemimpin kita saat itu beritikad baik dan sungguh-sungguh membangun negeri. Mereka belum ditunggangi oleh individualisme untuk memperoleh keuntungan pribadi. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, sangat berbeda jauh. Semoga masih banyak pemimpin yang mau bersulit-sulit memikirkan nasib rakyatnya seperti para pendahulu kita di masa enam bulan pasca proklamasi kemerdekaan. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: