Kamis, 14 Juli 2016

LE PETIT NICOLAS

Pernah nggak merasa bosan tanpa sebab yang jelas? Atau capek karena seharian bekerja tapi malamnya kamu nggak bisa tidur karena banyak pikiran? Pernah pasti ya. Tiap orang pasti punya caranya sendiri ketika menghadapi salah satu atau bahkan dua situasi di atas sekaligus. Menurut survey American Psychological Association yang dirilis tahun 2015, tiga cara paling populer untuk menghadapi stress di kalangan orang Amerika adalah melakukan aktivitas fisik, terlibat dalam kegiatan relijius, dan makan banyak atau minum alkohol. Saya nggak tahu apakah cara tersebut populer di Indonesia tetapi sayangnya cara yang paling sering saya lakukan untuk menghilangkan stress tidak termasuk di dalam tiga cara paling populer tadi. Saya memilih nonton film, membaca fiksi, atau menyanyi. Ahhhh mainstream. Ya nggak apa-apa dong. Seperti yang saya bilang tadi, tiap orang kan punya caranya sendiri.
Terkait nonton film, ada beberapa film yang selama ini tidak pernah saya hapus dari laptop saya karena sering digunakan sebagai obat bosan atau stress. Film-film itu selalu nangkring di drive D dalam folder “XXX” (nggak usah tanya kenapa nama foldernya seperti itu). Di folder tersebut, akan selalu bisa ditemukan To Kill a Mockingbird, Babies, dan Le Petit Nicolas. Untuk yang pernah nonton semua film tersebut, pasti langsung berkomentar, “filmnya tentang anak-anak semua!”. Benar juga. Saya juga baru sadar malam ini. Hal inilah yang membuat saya tergerak untuk menuliskannya di blog setelah sekian lama blog saya anggurkan.
Kali ini saya akan membahas secara spesifik dan subjektif tentang film ketiga, Le Petit Nicola, yang akan disambungkan dengan ketidaksengajaan yang baru saya sadari malam tadi. Kenapa LPN? Karena itu adalah film yang akhir-akhir ini sering saya tonton yang mengindikasikan kalau saya sedang sering merasa bosan, stress, atau campuran keduanya.

Dari kiri ke kanan: Nicolas, Alceste, Clotaire, Rufus, Geoffrey, dan Eudes.

LPN bercerita tentang kehidupan seorang bocah cilik bernama Nicola yang hidup di Prancis sekitar tahun 50an. Nicola ini usianya katakan saja sekitar 7 atau 8 tahun dan ia bersekolah di sebuah sekolah khusus putra. Diangkat dari komik karya René Goscinny, pengarang Astérix, yang bekerjasama dengan ilustrator Jean-Jaques Sempé, cerita LPN berkisar di seputaran kegiatan Nicolas bersama teman-temannya di sekolah serta keluarganya di rumah. Nicolas memiliki 5 orang teman dekat bernama Clotaire, Alceste, Geoffrey, Rufus, dan Eudes. Clotaire adalah seorang penggemar sepeda yang malas belajar dan sering tidur di kelas. Alceste suka makan dan bercita-cita menjadi menteri karena dia pikir menteri pasti sering makan enak. Geoffrey memiliki ayah yang kaya raya sehingga ke mana-mana ia selalu diantar dan ditemani sopirnya. Rufus bercita-cita menjadi seorang polisi seperti ayahnya . Eudes memiliki sifat masa bodoh dengan segala sesuatu dan ingin menjadi bandit. Keenam sekawan itu tidak terpisahkan baik saat main di halaman sekolah yang dijaga penjaga galak Monsieur Dubon yang mereka panggil “le Buillon” atau saat main di luar sekolah. Oh iya, mereka juga punya satu teman kelas yang tidak mereka sukai bernama Agnan. Agnan selalu cari perhatian pada guru dan melaporkan murid yang ramai atau mencontek. Selain teman-temannya tadi, orang terdekat Nicolas adalah ayah dan ibunya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa dan ayahnya bekerja di sebuah perusahaan dengan seorang bos galak bernama Monsieur Moucheboume.
Kehidupan Nicolas yang sempurna dengan adanya teman-teman yang mengasyikkan dan keluarga yang menyayanginya terusik ketika ia berasumsi bahwa ia akan segera punya adik. Asumsi tersebut dipicu oleh pengalaman teman sekelasnya, Joachim, yang baru saja mendapatkan adik. Joachim mengatakan pada geng Nicolas bahwa sejak punya adik, banyak hal buruk terjadi di hidupnya. Ia sempat menyebutkan tanda apa saja yang bisa digunakan untuk menyimpulkan bahwa seseorang akan segera punya adik. Nicolas yang naif berpikir bahwa ia telah melihat tanda-tanda yang disebutkan oleh Joachim terjadi di keluarganya. Ia kemudian meminta teman-temannya untuk membantunya “membuang” si adik yang bahkan belum lahir. Dari sinilah banyak kejadian konyol akan terjadi. Kenaifan Nicolas dan teman-temannya dalam berpikir dan bertindak adalah kunci menariknya film ini. Sepanjang film, saya sering tersenyum atau bahkan terpingkal melihat tingkah mereka yang sangat polos menyikapi semua hal. Kan sudah ditonton berulang kali, Yan? Ya memang. Tapi selalu saja tertawa walaupun bahkan sudah hapal beberapa kata-katanya yang berbahasa Prancis. Itu ajaibnya anak-anak polos tadi. 
Kepolosan anak-anak itu jugalah yang saya temukan di To Kill a Mockingbird dan Babies. Kepolosan tersebut cukup untuk menyadarkan saya bahwa saat sedang stress atau bosan, sebenarnya  saya hanya perlu berhenti untuk berpikir dan menimbang banyak hal, bahkan yang sepele atau yang sama, berulang kali. Dipikir sekali saja cukup dan biarkan semuanya mengalir. Atau kadang-kadang jangan dipikir dan andalkan spontanitas dan nasib baik saja. Rasa stress dan bosan memang bisa datang berulang kali, mirip penyakit. Namun, sama halnya dengan penyakit pilek atau batuk, walaupun sudah diserang puluhan kali sejak anak-anak sampai dewasa, bisa saja obatnya hanya satu merk. Yang penting kalau sakit datang, kita sudah siap dengan obatnya. Untuk penyakit bosan dan stress, nonton film obatnya. Anak-anak selalu jadi obat terbaik memang. Hidup anak-anak! Dan selamat menonton!  

Tidak ada komentar: