Selasa, 08 November 2016

REVIEW AMATIR DOCTOR STRANGE

Tepat seminggu yang lalu, 1 November 2016, akhirnya saya bisa nonton Doctor Strange di bioskop setelah sebelumnya dipameri beberapa teman yang bernasib baik menontonnya terlebih dahulu. Mengapa mereka harus pamer? Karena saya adalah salah satu Cumberbitches (sebutan untuk fans Benedict Cumberbatch) dan entah kenapa teman-teman saya merasa perlu untuk membuat saya menderita selama beberapa hari sebelum akhirnya saya bisa meluapkan kebahagiaan karena bisa nonton wajah Ben yang terpampang besar di layar bioskop. Terakhir saya nonton Ben di bioskop adalah saat The Imitation Game masih booming, yaitu tahun 2014. Sudah cukup lama.

Kebetulan radio tempat saya bekerja dekat lokasinya dengan Bioskop Empire XXI di Jalan Solo sehingga saya hanya perlu berjalan kaki ke sana dan membeli tiket seharga Rp 35.000,00. Saya tidak tahu sama sekali kalau di bioskop tersebut tidak terdapat 3D. Di Jogja, XXI Empire 3D tersedia di Jogja City Mall yang terletak di Jalan Magelang. Maklum saya jarang nonton bioskop jadi tidak hapal. Hahaha. Saya memilih duduk di baris A yang berarti adalah baris paling belakang atau paling jauh dari layar bioskop. Sengaja saya tidak membeli makanan di kantin bioskop atau menyelundupkan makanan yang dibeli dari luar saat menonton Doctor Strange. Untuk film-film tertentu, saya adalah tipe penonton serius yang tidak menolerir sedikit pun gangguan, termasuk suara rahang sendiri saat mengunyah snack.

Film dibuka dengan cukup keren. Sepuluh menit pertama, saya melihat adu kekuatan The Ancient One (Tilda Swinton) dan Mads Mikkelsen (Kaecilius) yang mampu membuat gedung-gedung bergerak dan berubah dimensinya dengan sangat epik dan apik. Memang ternyata mirip Inception seperti yang dikatakan review-review tapi kali ini dalam level yang berbeda. Frekuensi perubahannya lebih intens dan penonton diajak berasumsi bahwa hal tersebut terjadi di kehidupan nyata, bukan dalam pikiran seperti Inception. Hal itulah yang membuat perubahan dimensi pada gedung-gedung pencakar langit di Doctor Strange tampak lebih keren daripada di Inception.

Scene selanjutnya menurut saya berfungsi untuk memperkenalkan siapa Stephen Strange sebelum berubah menjadi superhero bernama Dr. Strange. Intinya dia adalah dokter neurosurgeon, dokter ahli bedah otak dan syaraf, yang selain jenius dan memiliki photographic memory alias bisa mengingat dengan detil hal-hal yang dilihatnya, juga memiliki keterampilan tangan yang mengagumkan saat melakukan tindakan operasi. Keterampilan ini adalah keahlian kunci bagi seorang neurosurgeon mengingat rumitnya materi yang mereka tangani dalam operasi, syaraf dan otak. Sayangnya, semua kelebihan tersebut membuatnya arogan. Sampai kemudian ia mengalami kecelakaan yang meremukkan tangganya. Ia harus hidup dengan platina yang tertanam di tangannya yang membuatnya tidak mungkin lagi melakukan operasi a.k.a. hancurlah karir yang ia banggakan selama ini.

Scene pengenalan tersebut sedikit mengingatkan saya pada Sherlock Holmes, karakter yang juga diperankan Ben. Bedanya, Stephen Strange sedikit ceroboh sedangkan Sherlock tak akan pernah membiarkan dirinya mengalami kecelakaan fatal seperti Strange.
Ben memainkan perannya dengan bagus sekali di bagian tersebut. Film-film superhero biasanya akan membuat kita terbelalak pada kecanggihan teknologi yang dipakai dan rumitnya setting tempat sehingga kualitas akting pemainnya dinomorsekiankan. Doctor Strange berbeda. Saya mengamini kualitas akting Ben terutama saat scene di mana Strange ditemui oleh Christine Palmer (Rachel McAdams), rekan sekaligus mantan kekasihnya, di dalam apartemennya yang nyaris kosong. Dalam scene tersebut, Strange meluapkan amarah dan keputusasaan atas nasibnya.

Strange mencari dan menempuh segala cara untuk bisa mengembalikan tangannya ke kondisi semula. Usaha itu pada akhirnya membawa Strange ke Kathmandu, Nepal dan bertemu dengan The Ancient One (Tilda Swinton). Strange belajar soal mysticism dengan bimbingan langsung dari The Ancient One sekaligus otodidak lewat buku-buku yang dibacanya. Karena dari pabrikannya Strange memang sudah jenius, cepatlah dia menyerap segala ilmu yang dipelajarinya. Strange kemudian diangkat menjadi salah satu master, sebutan bagi penjaga dunia dari dimensi gelap yang dikendalikan Dormammu. Dormammu ini tidak berbentuk. Dalam film, ia digambarkan sebagai bola raksasa berwarna campuran biru, ungu, dan perak. Strange kemudian membuktikan kualitas kemampuannya saat melawan Kaecilius, sekutu Dormammu, yang mencoba mengobrak-abrik ruang dan waktu di dunia.

Dari segi cerita, Dr.Strange ini plotnya biasa saja: ada seseorang yang memiliki masalah pelik mencoba mencari jalan keluar, namun akhirnya ia malah menemukan akses pada kekuatan tertentu dan tokoh lain yang membuatnya menjadi superhero dan menolong banyak orang. Biasanya cerita superhero yang saya tonton seperti itu. Yang berbeda kali ini tentu saja visual effects keren yang sudah saya singgung di awal. Kalau visual effects di awal hanya berlangsung selama beberapa menit, dalam duel antara The Ancient One vs Kaecilius dan Kaecilius vs Dr. Strange, kalian akan menemukan lebih banyak scene yang sukses membuat awestruck alias melongo. Jadi, kesimpulan awalnya, walaupun plotnya mirip, Doctor Strange tidak seperti film-film superhero yang lain berkat adanya konsep visual effects yang berbeda, baru, dan keren!

Walaupun banyak istilah baru untuk saya (saya bukan pembaca komik superhero Marvel) yang digunakan untuk menyebut konsep kekuatan Doctor Strange dan kekuatan mistis lainnya, film ini tidak terjebak terlalu lama untuk menjelaskan bagaimana cara kerja kekuatan tersebut. Saya belajar sambil jalan karena beberapa penjelasan kadang-kadang sudah tersampaikan lewat aksi tokoh-tokohnya. Contohnya adalah konsep kekuatan Strange dan kekuatan Dormammu. Kekuatan mereka bisa saya mengerti saat Strange menjebak Dormammu dalam periode waktu tertentu yang ia setting agar terjadi berulang kali. Dari situ saya tahu bahwa di dunia Dormammu, konsep waktu tidak terbatas, endless. Cara bercerita yang efektif.

Seperti halnya film superhero, Docor Strange juga tidak selamanya serius. Kalian akan menemukan beberapa scene yang sukses mengocok perut. Saya punya beberapa favorit. Pertama, saat Master Mordo (Chiwetel Ejifor) menyerahkan lembaran bertuliskan “Shamballa” pada Strange. Melihat wajah Strange yang serius, Mordo menjelaskan bahwa tulisan tersebut bukanlah mantra seperti yang dipikirkan oleh Strange, namun hanyalah password wifi. Kedua, saat Strange bingung dengan nama Master Wong yang hanya terdiri dari satu bagian, “Wong”, saat mereka berkenalan. Ia mencoba membandingkannya dengan nama-nama selebritis seperti Beyonce, Adele, dan Bono yang juga hanya terdiri dari satu bagian. Wong bingung karena tidak mengerti nama-nama tersebut. Dulu saya pernah melihat meme yang mengatakan bahwa humor-humor Marvel seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Marvel lebih unggul dari DC. Untuk bisa mengamininya, saya sepertinya perlu lebih sering menonton film-film Marvel dan DC.

Selain Benedict Cumberbatch yang berakting keren, akting Tilda Swinton sebagai The Ancient One juga layak dipuji. Selain karena kontur muka Tilda yang unik cenderung aristokrat, ketenangannya sebagai The Ancient One membuatnya menjadi sosok yang paling saya ingat ketika meninggalkan bioskop. Ia adalah karakter yang karismanya sangat terlihat di Doctor Strange, bahkan melebihi Ben menurut saya. Padahal, pemilihan Swinton sebagai karakter The Ancient One sempat menuai kontroversi. The Ancient One seharusnya adalah biksu dari Kathmandu yang memiliki wajah Asia seperti yang digambarkan di komik Doctor  Strange karya Steve Ditko. Namun, The Ancient One dalam film Doctor Strange digambarkan sebagai seorang Celtic. Akan tetapi, walaupun ada isu tentang whitewash, kalian yang melihat film tersebut pasti setuju dengan saya kalau Swinton memerankan karakternya dengan baik kalau tidak dibilang sempurna.

Chiwetel Ejiofor, Benedict Wong, serta Mads Mikkelsen yang memerankan supervillain Kaecilius memerankan bagiannya dengan baik walaupun tidak bisa dibilang berkharisma seperti The Ancient One. Soal Kaecilius, saya merasa peran dia sebagai lawan Doctor Strange kurang ditonjolkan. Tidak seperti Batman vs Joker atau Thor vs Loki, ketegangan dan rasa saling benci di antara Strange dan Kaecilius tidak terlalu nampak, kalaupun memang ada. Padahal, sewaktu jadi musuh James Bond di Casino Royale, karakter Le Chiffre yang diperankan Mikkelsen bisa sangat apik menjadi musuh utama Bond yang energi dan kecerdikannya hampir sepadan.

Hal lain yang menarik dalam Doctor Strange adalah adanya Stan Lee di salah satu scenenya. Stan Lee memang terkenal sering muncul menjadi cameo di film-film superhero Marvel. Walaupun pencipta Doctor Strange adalah Steve Ditko, Stan Lee tetap nongol di film tersebut. Ia menjadi seorang kakek yang sedang membaca koran di dalam bus yang busnya hampir ditabrak oleh Strange dan Kaecilius saat mereka bertarung. Sepanjang film, saya cenderung tenang, namun saat scene tersebut, saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan itu sehingga berteriak, “Stan Lee!”.

Jadi, bagi yang belum menonton Doctor Strange, saya sarankan segera kunjungi bioskop-bioskop terdekat di kota Anda sebelum filmnya turun. Saya sarankan, tontonlah yang versi 3D. Nggak nyesel. Walaupun secara plot biasa saja, kalian tidak akan kecewa dengan visual effectsnya, akting Tilda Swinton, dan tentu saja Benedict Cumberbatch yang keberadaannya tidak hanya sekelebat seperti Stan Lee namun hampir sepanjang film!

Sumber foto: http://marvel.com/doctorstrangepremiere

Tidak ada komentar: