Minggu, 07 April 2013

HATTA: JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN



Bung Hatta adalah bapak bangsa favorit saya. Bisa dibayangkan betapa girangnya perasaan ini ketika menemukan Seri Buku Tempo Bapak Bangsa edisi Hatta yang terselip di salah satu rak perpustakaan daerah. Saya mengagumi Beliau sejak SMP tingkat I. Dimulai dari ketidaksengajaan membaca beberapa buku yang dibuat khusus untuk memperingati 100 tahun Bung Hatta. Isinya adalah kenangan orang-orang terdekatnya tentang si Bung. Sejak itu, saya lahap tiap info tentang Bung Kacamata ini di manapun saya menemukan buku tentang Beliau.
Seri Buku Tempo edisi Bung Hatta sudah diterbitkan sejak 2010. Dan saat melihat iklan tersebut di majalah Tempo, saya mulai mencari di perpustakaan-perpustakaan terdekat. Sayangnya baru bisa ditemukan di tahun 2013. Pencarian selama hampir tiga tahun berujung pada 3 jam proses membaca yang terkadang diselingi dengan rasa mendiring dan mata berkaca-kaca. Dua yang terakhir ini sangat personal mengingat saya adalah pengagum si Bung.
Pada dasarnya buku ini, seperti yang dikatakan Arif Zulkifli dalam kata pengantar, adalah hasil penelusuran jejak sang Bung dalam empat periode hidupnya di Bukittinggi, Eropa, Jawa, dan di tanah buangan (Banda Neira ,Tanah Merah, Boven Digul, dan Bangka). Buku ini menjadi kumpulan memoar dan pemikirannya yang tersebar dalam berbagai tulisan, pidato, cerita, dan foto.
Bung Hatta dikenal sebagai orang yang serius. Dua sifat lainnya yang juga paling menonjol adalah pecinta buku dan tepat waktu. Kecintaannya pada buku membuatnya kaya akan ilmu pengetahuan dan penuh kebijaksanaan. Sifat disiplinnya juga tercermin dalam kehidupan sehari-harinya sampai ia wafat pada 14 Maret 1980.
Sejak kecil, putra Minang yang dilahirkan di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 ini telah menunjukkan keseriusan dalam belajar. Ia lahir dari kalangan bangsawan, perpaduan keluarga ulama dan saudagar. Namun sejak kecil, ia telah hapal dengan kesewenang-wenangan kolonial yang salah satunya pernah menangkap kerabat sang kakek, Rais, yang mengkritik seorang pejabat Belanda.
Lingkungannya telah membentuknya menjadi seorang yang relijius. Pribadinya adalah perpaduan antara kesalehan dan intelektualitas. Ia dikenal sebagai salah satu bapak bangsa yang kualitas intelektualitasnya paling cemerlang. Ia mendapat kesempatan belajar di Rotterdamse Handelshogeschool, sebuah sekolah ekonomi bergengsi pada 1921. Selama masa studinya, ia berkenalan dengan beberapa mahasiswa asal Hindia Belanda dan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi kecil. Ini adalah awal terbentuknya Indische Vereeniging yang kemudian diubah menjadi Indonesische Vereeniging dan akhirnya bernama Perhimpunan Indonesia. Selain berdiskusi, organisasi ini juga melakukan penerbitan yang berujung pada penangkapan Hatta tahun 1927. Ini akibat tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial. Saat menjalani siding, ia membacakan pembelaannya selama tiga setengah jam di depan pengadilan dengan judul “Indonesia Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.
Sepulangnya ke tanah air, ia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia bersama Sutan Sjahrir. Partai ini menekankan pada aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah. Aspek ini berseberangan dengan Soekarno. Dalam konsep pembentukan partai dan keanggotaannya, Soekarno lebih memilih penggalangan kekuatan massa. Dwitunggal ini memang tidak selamanya akur. Mereka berdua sering berseberangan pendapat yang puncaknya ditandai dengan pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden tanggal 20 Juli 1956. Hal ini terjadi karena Soekarno mulai mencanangkan Demokrasi Terpimpin. Dalam menentang sistem Demokrasi Terpimpin, Hatta menulis “Demokrasi Kita”, yang sempat dinyatakan sebagai bacaan terlarang padahal relevansinya dengan zaman sekarang masih nyata terpapar. Namun keduanya tetaplah dua sahabat yang saling menghormati. Soekarno sempat meminta Hatta untuk menjadi wali nikah putra sulungnya, Guntur, yang disanggupi oleh Hatta. Pertemuan terakhir dua bung ini terjadi saat Soekarno dirawat di rumah sakit. Hatta hadir menjenguk dan menurut Meutia Farida Hatta, putri sulung Hatta, keduanya memang tidak bercakap-cakap banyak namun keduanya seperti saling mengerti dan memaafkan satu sama lain.
Hatta memang dikenal sebagai pemikir dan orator ulung. Ia mungkin tidak sehebat Soekarno dalam berorasi, namun tulisan-tulisannya berbicara senyaring orasi Soekarno. Ia adalah seorang deep reader yang menuangkan gagasannya lewat sebuah proses pemikiran penuh pertimbangan dan dilandasi dengan landasan yang kuat. Hatta dikenal sebagai seorang sosialis, namun ia juga rasionalis. Ia tak membiarkan dirinya terjebak dalam hingar bingar pengerahan fisik massa. Visinya sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal.
Periode tanah pembuangan adalah masa yang digambarkan sedikit berbeda dalam hidup Hatta. Hatta dibuang karena kegiatan politiknya yang dinilai membahayakan pemerintah kolonial. Hatta pernah dibuang di tiga tempat. Yang pertama di daerah Boven Digul, Papua. Tempat ini sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Memang tidak ada rantai dan kerja paksa, namun orang bisa tidak tahan secara mental karena dirongrong kebosanan. Akhirnya Hatta dan Sjahrir pada tahun 1936 dipindahkan ke Banda Neira. Periode ini mungkin merupakan periode cukup menyenangkan dalam tahun-tahun perjuangan Hatta. Keberadaan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya serta alam yang indah seperti memberi semangat baru. Ia tetap rajin membaca dan menulis sambil sesekali ikut bermain dengan anak-anak. Des Alwi adalah salah satu anak Banda Neira yang kemudian diangkat anak oleh Sjahrir dan Hatta. Saat keduanya diminta pulang oleh pemerintah kolonial ke Jakarta tahun 1942, mereka membawa serta empat orang anak Banda bersama mereka. Tempat pembuangan ketiga adalah Menumbing, Bangka. Saat Belanda menyerbu Yogyakarta pada Desember 1948, Hatta dan Soekarno ditangkap dan dibuang. Mereka dibuang di tempat berbeda sebelum akhirnya ditempatkan di Bangka.
Masa senja Hatta memang memprihatinkan. Sejak pengunduran dirinya sebagai presiden, ia hanya menerima penghasilan dari uang pensiun negara dan royalti menulis buku. Sempat ia kesulitan membayar tagihan listrik rumahnya. Beberapa perusahaan menawarinya menjadi komisaris perusahaan, namun ia menolak karena prinsip dan keteguhan hatinya membela rakyat.
Dan begitulah, mengenang Bung Hatta lewat tulisan-tulisan tentangnya adalah sebuah proses yang menggetarkan hati. Tidak perlu tulisan yang muluk-muluk untuk membuat pembacanya menghormati dedikasi dan kejujuran proklamator ini. Di atas semuanya, Indonesia harus bangga karena pernah memiliki seorang putra yang ikhlas mengabdikan dirinya untuk bangsa. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: