Minggu, 20 Januari 2013

WAKTU



Tentu saja kau bukan yang pertama. Lebih tepatnya, kau yang kedua. Cinta pertamaku adalah seorang bocah laki-laki yang rumahnya selalu kulewati tiap aku berangkat sekolah. Saat itu aku masih kelas 4. Dan kau mulai menyelip di antara ruas-ruas hidupku yang sederhana saat aku 13 tahun, 4 tahun kemudian. 4 Februari 2004 dan itu adalah kali pertama aku menyebut namamu secara khusus di buku harianku. Aku menulis kegalauan yang aku rasakan saat itu. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh kepada diriku sendiri dan terlebih kepada Tuhanku. Berpuluh-puluh pertanyaan yang beberapa di antaranya tidak perlu untuk dijawab, dan beberapa lagi memang tidak bisa. Di akhir paragraf, aku memintaNya untuk tidak menganugerahiku perasaan sakral itu namun kemudian inilah yang terjadi: aku mulai mencintaimu.

Sejak saat itu, namamu makin sering muncul dalam buku harianku. Aku menulis betapa coklat warna matamu, tertawamu yang kekanakan, kakimu yang bisa menyentuh tanah saat kau duduk di sedel sepedamu sedangkan teman-teman yang lain tak bisa, caramu berlari saat kita main kasti tiap sore, pipimu yang tersipu saat meminta izin berkunjung ke rumah Eyangku, ceritamu tentang betapa lucunya keluargamu, buku yang kau berikan padaku, coklat yang kuberikan padamu, ajakanmu untuk bersepeda mengelilingi alun-alun Wates sampai senja…


Hal-hal sederhana itu begitu manis untuk diingat. Hampir sembilan tahun dan aku masih takjub dengan begitu lekatnya memori itu. Aku akan tersenyum tiap kali seseorang menyebut Siti Nurbaya. Kau pernah berdebat denganku tentang siapa penulis buku tersebut. Tentu saja aku selalu menang saat itu. Aku masih ingat warna sepedamu, tinggi kaos kakimu, model sepatumu, lembutnya suara tawamu, cara berlarimu, gaya berjalanmu, gerakan tanganmu saat berbicara. Waktu tidak bisa membuatnya lekang dari ingatanku.

Tapi waktu jualah yang mengambilmu dariku. Kadang kita tidak menyadari betapa jauhnya waktu membawa masa remaja kita sampai ke ujung kedewasaan. Kita menyemai mimpi kala bersama dan tiba-tiba kenyataan ada di depan kita. Selalu ada yang harus dikorbankan. Dan aku benci ketika itu adalah aku.

Kau tahu betapa lamanya aku menunggu? Aku menunggu sampai aku menyadari bahwa tidak akan ada gunanya menunggu. Aku bodoh karena itu terjadi belum lama ini. Tahun-tahun yang terbuang untukmu adalah tahun-tahun penuh senyum getir tiap aku mendengar kau bahagia bukan denganku.

Tentu saja tidak ada yang salah. Kau pintar berkompromi dengan waktu sedangkan aku hanya seorang idiot yang berharap pada sesuatu yang sebenarnya terus melaju perlahan-lahan meninggalkanku. Kau menang kali ini. Atau sebenarnya kau selalu menang terhitung saat kau mulai memilih kenyataan sedang aku memilih setia pada mimpi.

Tidak ada komentar: