Senin, 11 Februari 2013

PERPUSTAKAAN



Sejak kecil saya gemar membaca, terutama karya sastra. Di SMP saya mulai kenal dengan sastrawan era Pujangga Lama sampai dengan 60an karena guru bahasa Indonesia saya mewajibkan semua murid yang diampunya untuk membaca paling tidak 5 karya sastra dari era-era tersebut selama satu semester. Tugas tersebut telah menimbulkan sebuah kecintaan mendalam pada karya sastra Indonesia yang tidak lekang sampai sekarang.
Jarang sekali saya membeli buku sastra. Lebih banyak saya mendapatkan koleksi-koleksi karya sastra lewat perpustakaan daerah atau perpustakaan kota. Hanya dengan bermodal uang pendaftaran kurang dari 5 ribu rupiah, foto copy identitas, dan selembar foto, saya bisa dengan gratis membaca dan membawa pulang buku yang saya pinjam. Masa peminjamannya pun lumayan lama. Di perpustakaan daerah di mana saya tinggal, meminjam sampai melewati masa pinjam pun tidak didenda. Pernah saya meminjam sebuah buku sampai 5 bulan dan tidak diminta untuk membayar sepeser pun.
Pelayanan pegawai perpustakaan juga rata-rata ramah dan helpful. Tidak pernah saya memiliki pengalaman buruk dengan pegawai perpustakaan. Well, sebenarnya pernah sekali terjadi saat saya masih kuliah. Perpustakaan fakultas saya memiliki seorang pegawai yang menyebalkan karena membentak saya gara-gara dia tahu saya orang Jawa tapi tidak memakai bahasa Jawa ketika berbicara dengannya. Saya hanya bisa melongo dan mencak-mencak kemudian.  Selain pengalaman menyebalkan tersebut, secara umum saya tidak pernah punya masalah dengan para pegawainya dan malahan merasa berterima kasih karena cukup membantu saat ada kesulitan.
Dari tahun ke tahun, selain pelayanan dari sisi sumber daya manusianya, penataan ruang dan fasilitas juga mengalami peningkatan. Saya acungi jempol kepada para petinggi pemerintah yang mempunyai ide untuk selalu meningkatkan kualitas satu ini. Bangunan yang baru, susunan meja dan kursi yang nyaman, pemasangan AC, ketersediaan wifi dan internet adalah beberapa di antaranya.
Sayangnya di antara semua itu saya masih merasakan adanya kekurangan. Walaupun fasilitas dan pelayanan semakin meningkat, namun koleksi buku-buku di perpustakaan terasa jauh masih kurang. Sering sekali saya tidak bisa menemukan buku yang saya cari. Seumpama terdiri dari beberapa seri atau episode, saya hanya bisa menemukan beberapa di antaranya, tidak pernah lengkap. Saya curiga kalau perpustakaan-perpustakaan ini kurang peka dengan terbitnya buku-buku baru. Sepertinya mereka tidak memiliki sumber yang menyediakan informasi tentang buku-buku baru. Hal ini menyebabkan sering kecewanya pengunjung.
Saya sadar bahwa penerbitan buku, terutama buku sastra yang memenuhi kriteria tulisan sastra, di Indonesia memang tidak bisa dibandingkan kuantitasnya dengan negara-negara lain. Bahkan dengan Malaysia saja Indonesia kalah dalam jumlah penerbitan padahal Indonesia lebih kaya dalam bahasa, seni, dan juga budaya yang bisa dijadikan bahan tulisan. Apakah ini ada hubungannya dengan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga penambahan buku di perpustakaan secara rutin pun akan percuma karena jumlah orang yang tertarik untuk menulis dan membaca serta berkunjung ke perpustakaan masih teramat rendah? Kalau memang itu yang menjadi masalah, seharusnya badan perpustakaan daerah tidak lalu memutuskan untuk tidak peka terhadap penerbitan buku baru karena masih banyak orang-orang yang mengandalkan perpustakaan sebagai sumber informasi sastra.
Banyak buku-buku yang berlabel sastra tapi jauh dari kriteria sebutan buku sastra mulai membanjiri toko-toko buku sejak beberapa tahun yang lalu. Generasi muda zaman sekarang lebih tertarik dengan buku-buku semacam itu. Dengan tema percintaan, penggunaan bahasa gaul, dan cerita yang kurang berbobot, banyak orang terpikat. Yang harus disadari, di samping buku-buku tersebut, masih ada juga buku-buku sastra yang memenuhi kriteria penulisan dalam bahasa Indonesia yang juga layak untuk diperhatikan walaupun jumlahnya terbatas. Sebagai salah satu sumber informaasi sastra tulis yang masih diandalkan sebagian masyarakat, perpustakaan seharusnya menambah koleksi buku-buku tidak hanya berdasar pada ketertarikan mayoritas masyarakat, namun perpustakaan harus menyediakan sebanyak mungkin jenis buku sastra yang memang dirasa perlu untuk ditempatkan di rak-rak buku berlabel “sastra”.
Generasi muda memang mayoritas tidak tertarik untuk membaca buku, apalagi buku sastra yang berat karena tidak menggunakan bahasa gaul. Tapi masih ada juga golongan minoritas yang jatuh cinta dengan buku-buku sastra dan masih berharap adanya kesempatan untuk bisa menemukan buku-buku sastra kualitas bagus di perpustakaan yang sering mereka kunjungi. Bukankah ini tugas pemerintah lewat badan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut? 

Tidak ada komentar: