Sabtu, 02 Februari 2013

SELIMUT DEBU



Afghanistan tentu bukan negara idaman para backpacker atau traveller untuk dikunjungi. Perang bertahun-tahun di negara bekas jajahan Uni Soviet ini telah rajin menghiasi layar kaca. Berita tentang bom bunuh diri dan keganasan Taliban menjadi momok ampuh bagi para pelancong unuk tidak memasukkan negara ini dalam destination list mereka. Namun berbeda dengan Agustinus Wibowo. Ia malah tertantang untuk menggali petak demi petak tanah Afghanistan untuk mencari tahu apakah benar memang tidak ada lagi keindahan yang patut dinikmati di sana karena semua celah seolah telah tertutup perang dan kemiskinan. Hasil dari rasa ingin tahu dan keberanian itu tertuang dalam buku berjudul Selimut Debu setebal 461 halaman yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan di blog pribadinya setelah mengalami proses editing beberapa kali.
Pertama-tama, pembaca harus tahu bahwa buku ini bukanlah hasil perjalanan ke wilayah makmur yang penuh dengan selebrasi penulis yang sibuk berpamer ria tentang bangunan-bangunan termasyur yang dikunjungi. Bukan pula tentang tips dan tricks menyelenggarakan liburan di Afghanistan. Tulisan ini membawa kita untuk menyelami kehidupan masyarakat Afghanistan dan hubungan mereka dengan khaak dan watan, negeri dan tumpah darah mereka. Agustinus Wibowo punya cara sendiri dalam bertutur yang membuat pembaca merasa dekat dengan rakyat Afghanistan dan mengerti penderitaan, mimpi, juga rasa bangga yang mereka rasakan. Ia menonjolkan sisi humanis dari negara yang selama bertahun-tahun bergumul dalam perang dan menyisakan kemiskinan bertaraf massive di antara penduduknya.
Saya setuju dengan Maggie Tiojakin yang menyampaikan kata pengantar untuk buku ini bahwa Agustinus Wibowo bukan hanya seorang traveller. Ia seorang explorer. Perjalanan yang dimulai dari Peshawar, daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan, yang dipenuhi pengungsi Afghanistan sampai ke provinsi Ghor yang dilanda kekeringan dan gagal panen hampir sepanjang tahun membuat pembaca yang sedang membaca di atas sofa empuk mungkin menjadi tidak nyaman. Tapi memang itu yang ingin disampaikan oleh penulis. Dengan tidak bermaksud menggurui, ia membawa kita menelusuri kenyataan yang selama ini mungkin hanya bisa diraba lewat imajinasi, bahwa Afghanistan itu A, B, dan C. Afghanistan ternyata masih punya mimpi yang masih dicoba untuk diwujudkan. Debu yang memenuhi udara negara ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Afghanistan dan mereka berjuang untuk tiap bulir “khaak” atau debu yang  terhirup dalam nafas.
Selain konflik ideologi, Afghanistan juga berkonflik dengan sesama bangsa sendiri karena bangsa ini terdiri dari berbagai etnik yang saling mencurigai. Etnik Pashtun mengatakan kalau etnik Hazara pemalas, sedang Hazara mengatakan bahwa Tajik tidak bisa dipercaya, sementara Tajik percaya bahwa Pashtun tidak bermoral dan seterusnya yang tidak akan pernah berhenti. Namun bangsa Afghanistan juga dikenal sebagai bangsa yang sangat memuliakan tamu. Padahal bangsa ini sangat miskin karena hamper tidak ada pekerjaan dan uang yang berputar. Belum lagi infrastruktur yang rusak parah. Roda ekonomi berjalan tersendat-sendat. Afghanistan adalah sebuah negara yang kembali lagi ke masa berpuluh-puluh tahun silam di mana telepon adalah barang sangat mewah. Namun semiskin apapun mereka, tidak akan pernah mereka memperlakukan tamu dengan semena-mena. Tamu harus dijamu dan diperlakukan seperti raja.
Masih banyak tradisi dan budaya yang Agustinus Wibowo hadirkan di tulisannya. Beberapa di antaranya adalah burqa yang dipakai oleh hampir semua wanita Afghanistan, bachabazi atau homoseksualitas di kalangan etnik Pashtun, sampai dengan sekte Ismaili yang merupakan pecahan Syiah. Buku ini membawa pembacanya pada sebuah pemahaman dari sudut pandang bangsa Afghanistan. Penulis tidak menghakimi, ia malah menuntun kita untuk berpikir dan merasa, melewati realita yang keras dan penuh syak wasangka bersama rakyat Afghanistan. Buku ini layak dibaca karena menyajikan sebuah petualangan yang lengkap. Penulis turut menangis, tertawa, bangga, dan terkoyak bersama dengan Afghanistan dan ia menyampaikan semua jenis perasaan itu dengan para pembacanya dengan sangat indah. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: