Rabu, 13 Februari 2013

TROTOAR


Tidak bisa naik motor di Jogja bisa jadi sebuah kutukan. Dan kutukan ini adalah kutukan untuk selalu berjumpa dengan wajah-wajah heran dan mengejek. Itu bisa ditanggungkan. Yang lebih buruk adalah ketika memutuskan berjalan kaki di sekitaran Jogja. Cobalah untuk berjalan barang setengah kilometer, pasti ada saja trotoar rusak tak layak dilewati atau kendaraan baik mobil maupun motor yang tidak mau mengalah. Sepertinya berjalan kaki, entah karena tidak bisa naik motor, memilih untuk menggunakan jasa transportasi umum, atau ingin berjalan kaki saja tanpa ada alasan tertentu kecuali karena senang, mendapat gangguan yang beragam di kota Jogja.
Sebagai seorang pejalan kaki, saya mulai muak dengan kota Jogja. Mulai dari infrastruktur bagi pejalan kaki yang tidak karuan sampai mental para pengguna jalan yang pantas dipertanyakan. Masalah ini tidak main-main. Bagi orang yang tidak terbiasa jalan kaki, mereka tidak akan pernah menyadarinya. Namun bagi pejalan kaki, 2 masalah tersebut membuat mereka merasa dianaktirikan sebagai sesama pengguna jalan.
Sebagai contoh, rute saya tiap Selasa sore setelah maghrib dimulai dari studio RRI di jalan Ahmad Jazuli melewati gereja Kotabaru, SMA 3, Gramedia, dan Trans Jogja di depan RS. Dokter Yap. Jalan kaki sore hari adalah kegiatan favorit sebagian besar orang. Saat itu tidak ada gangguan sinar matahari yang terik dan lampu-lampu kota yang menghiasi berbagai macam gedung adalah pemandangan apik yang sangat sayang untuk dilewatkan di sore menjelang malam. Sayangnya, kenikmatan yang seharusnya didapatkan dengan berjalan kaki terganggu dengan tidak ramahnya infrastruktur  di sepanjang jalan tersebut. Dimulai dari Jalan Amat Jazuli sampai gereja Kotabaru, trotoar bukan lagi tempat berjalan kaki yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Sebagian besar badan trotoar sudah penuh dengan pedagang, mulai dari makanan sampai helm. Tidak ada ruang sama sekali yang tertinggal untuk pejalan kaki.
Kalau pun ada, pejalan kaki harus siap bertemu dengan pedagang yang menutup akses ke badan trotoar sehingga mau tidak mau pejalan kaki harus mengalah dan turun ke jalan. Mulai dari sini, siapapun pejalan kaki itu, dia harus mulai hati-hati dan konstan tengok kanan kiri depan belakang kalau tidak mau disambar motor yang tiba-tiba nyelonong dari depan atau ngebut dari belakang. Jangan bayangkan profil pengendara motor atau mobil yang ramah mau mengalah untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Yang ada adalah pengguna kendaraan bermotor yang memacu kendaraan dengan kecepatan stabil. Walhasil, yang harus mengalah adalah pejalan kaki yang apabila mau menyeberang harus menunggu jalan benar-benar sepi yang berdasarkan premis soal keramaian di Jogja, itu tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah merentangkan tangan saat ada jeda sambil berlari-lari kecil dengan gesture tengok kanan kiri.

Masalahnya kemudian adalah, bagaimana kalau pejalan kaki tersebut adalah orang tua? Saya sering melihat di mana ada orang tua yang menyeberang diklakson berkali-kali oleh pengendara motor dan mobil yang tidak sabaran. Namanya juga orang tua. Kegesitan otomatis berkurang, apalagi keawasan. Inilah salah satu alasan mengapa peraturan untuk mendahulukan pejalan kaki dibuat. Tapi di Jogja, peraturan tersebut menguap seiring bertambah banyaknya jumlah motor dan mobil di Jogja dan semakin berkurangnya jumlah orang yang berjalan kaki. Sebegitu banyaknya motor dan mobil yang berseliweran, mereka berebut ruang untuk diri mereka dan melupakan satu anggota pengguna jalan lain yang juga berhak untuk dihormati: pejalan kaki.
Sepertinya kalau sudah menyangkut lalu lintas kota Jogja, hal sepele bisa berubah menjadi pertikaian. Saya sering melihat orang yang serempetan atau bertabrakan karena gaya berkendara yang ugal-ugalan. Tentu saja tidak ada dari kedua belah pihak yang mau dipersalahkan karena mereka merasa paling benar. Apalagi kalau sudah menyangkut pejalan kaki. Saya pernah melihat seorang perempuan ditabrak sebuah motor dari samping. Si penunggang motor bukannya minta maaf malah membentak-bentak si perempuan yang hanya bisa melongo dan kemudian sadar untuk membentak balik. Terang saja. Mbak itu sudah berjalan sesuai aturan di trotoar. Saat asyik berjalan, tiba-tiba saja sebuah motor memotong jalannya untuk masuk ke sebuah gang kecil di antara trotoar dengan kecepatan tinggi.
Selain faktor manusia yang secara sadar melanggar peraturan dengan tidak mengindahkan larangan berjualan di trotoar atau pengendara kendaraan bermotor yang asal, ada satu hal terkait infrastruktur bagi pejalan kaki yang miskin perhatian, yaitu kondisi trotoar untuk berjalan kaki. Karena jumlah kendaraan semakin bertambah, sepertinya pemerintah hanya berinisiatif untuk memperbaiki jalan raya, bukan trotoar. Kondisi trotoar banyak yang memprihatinkan, entah karena sudah gerimpil dan rusak digerus waktu atau faktor manusia maupun terkena korban pelebaran jalan. Mau tidak mau pejalan kaki harus berjalan kaki di jalan raya yang membahayakan keselamatan mereka karena kesadaran pengguna kendaraan bermotor yang minim.
Saya masih berharap pada pemerintah Jogja walaupun harapan itu semakin kabur seiring berjalannya waktu. Mirip seperti kondisi trotoar yang semakin rusak karena tidak ada yang memperhatikan. Yang perlu diketahui, masih banyak warga yang memilih untuk berjalan kaki dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi di Jogja. Ada juga komunitas pejalan kaki yang belum lama mengadakan kegiatan jalan kaki Jogja-Prambanan. Saya percaya bahwa salah satu indikator kota yang nyaman untuk ditinggali adalah adanya pejalan kaki yang merasa aman dan nyaman berjalan kaki di seputaran kota tanpa takut tiba-tiba diseruduk motor ngebut. Sering saya membayangkan betapa enaknya berjalan di kota-kota besar dunia yang punya trotoar besar, bersih, nyaman dan ramah terhadap pejalan kaki, seperti New York, Singapura, atau London. Semoga Jogja pun bisa suatu saat mewujudkannya. Tapi masih lama ya?

Tidak ada komentar: