Kamis, 28 Februari 2013

KENANGAN


Untuk sebagian orang, mengingat bukanlah kegiatan menyenangkan. Ada luka dan kesedihan yang dibawa oleh waktu lampau yang membuat seseorang enggan untuk mengungkit masa lalunya. Oleh karenanya, kegiatan mengingat bukan melulu romantisme penuh suka cita tapi juga terkadang sarat dengan linangan air mata. Namun orang tidak bisa serta merta membebaskan diri dari kenangan karena bagai sejarah, ia adalah bagian tak terpisahkan dari manusia. Kenangan turut mengukir pribadi dan menentukan jalan hidup yang dilakoni manusia di masa mendatang. Ia akan tetap ada seberapa kuat pun seseorang berusaha menafikkannya dari dirinya.
Apa beda sejarah dengan kenangan? Sejarah adalah masa lalu yang sifatnya komunal. Sejarah manusia adalah sejarah menjadi bagian dari masyarakat. Sebagai contoh, saya adalah seorang Jawa yang dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1989. Aktivitas saya sejak tanggal tersebut sampai sekarang disebut sejarah jika berhubungan erat dengan fungsi-fungsi saya sebagai makhluk komunal. Sejarah tentang saya akan berarti bagi catatan sipil yang mencatat akta kelahiran, universitas yang mencocokkan nama dan tanggal lahir ketika membuat ijazah, dan suatu saat seumpama saya menjadi presiden, semua hal yang saya pernah lakukan akan menjadi sejarah bagi orang-orang yang tertarik dengan masa lalu saya.  Dengan kata lain, sejarah membuat manusia sebagai milik publik.
Sedangkan kenangan adalah bentuk sejarah yang sifatnya pribadi. Ia hanya bermanfaat bagi seseorang yang bersinggungan langsung dengan proses sejarahnya. Karena bersifat pribadi, kenangan lebih kuat dalam rasa dan efek yang ditimbulkan pasca melakukan proses mengenang. Dalam melakukan proses mengenang, manusia pada dasarnya sedang mengundang kembali bagian dari dirinya di masa lalu. Oleh karena itu, tidak ada orang di dunia ini yang memiliki kenangan yang sama. Kenangan dibangun berdasar interpretasi pribadi seorang manusia terhadap suatu peristiwa dan kemudian hanya menjadi milik pribadi manusia tersebut.
Efek mengenang sering lebih kuat dibandingkan belajar sejarah. Tidak ada yang bisa menandingi pengalaman yang sudah dialami secara langsung oleh seseorang. Di sana ada proses belajar, mengingat, melupakan dan berbagai macam perasaan yang menyertainya. Apapun yang dialami secara pribadi menimbulkan bekas yang lebih jelas dan dalam. Apapun itu, baik buruk maupun bahagia.
Tulisan saya ini adalah hasil perenungan tentang apa yang telah terjadi pada diri sendiri. Suatu hari saya menemukan diri saya menangis di kamar seorang sepupu setelah mencoba mengenang masa kecil saya di rumah Pakdhe dan Budhe saya di Sentolo. Dulu rumah itu sangat semarak karena ada 5 orang yang menghuni ditambah seorang penghuni tidak tetap yang tiap akhir minggu selalu datang untuk berlibur, yaitu saya. Rumah itu kini sepi karena hanya ditinggali oleh Budhe, sepupu no.3, dan anaknya. Pakdhe saya sudah meninggal. 2 sepupu saya yang lain juga telah memiliki anak dan mengikuti suami mereka. Suami sepupu no.3 hanya kembali pada waktu-waktu tertentu karena sekarang ia bertugas di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu, rumah itu telah banyak kehilangan suasana ramai yang dulu selalu saya rindukan tiap akhir minggu. Saya mengingat berapa lama saya tidak datang ke tempat tersebut. Sebenarnya baru sebulan yang lalu saya datang untuk menengok keponakan tapi baru kali ini saya mencoba untuk mengingat apa saja yang berubah dari tempat yang sangat berarti bagi saya itu. Saya telusuri tiap sudut rumah dan masuk ke tiap kamar. Semakin lama kenangan itu semakin deras muncul dan hilang lenyap dalam ingatan. Tiap saya melangkah ke tempat berbeda, tiap itu juga kenangan berbeda muncul dan menyisihkan kenangan sebelumnya.
Deretan foto di dinding turut menemani perjalanan menyesakkan sore itu. Perjalanan mengenang yang merupakan kombinasi antara rasa sedih dan bahagia. Saya melihat potret kanak-kanak saya di antara 3 sepupu saya, foto Pakdhe dan Budhe saat masih dinas di kantor dan belum pensiun, foto keluarga di mana selalu ada saya di situ. Kemudian tiba-tiba semuanya beralih ke foto-foto wisuda ketiga sepupu dan foto-foto pernikahan mereka. Di deretan yang lain, nampak foto-foto ketiga keponakan saya dengan berbagai pose. Bahkan foto di sini pun punya alur ceritanya sendiri. Tiba-tiba saya merasa sangat lelah. Begitu panjang waktu yang sudah terlewati dan begitu banyak kenangan yang telah tersimpan dalam memori. Namun sekali mengeluarkannya, perasaan sesak itu selalu ada.


Saat saya tiba di halaman belakang, lama saya memandang pohon jambu yang saat itu belum berbuah. Bertahun-tahun yang lalu, saya dan ketiga sepupu sering memanjatnya dan memandang Pakdhe dan rewang di rumah yang sedang memberi makan ayam. Pohon itu sudah bertambah tinggi dan dahannya telah lebih bercabang. Kalau sedang musim, jambu berwarna pink keruh itu akan menggantung bergerombol dan seingat saya, saya tidak pernah bisa menggapainya sekuat apapun saya meloncat. Sore itu saya angkat tangan saya dan saya raih cabang terdekat. Tidak perlu meloncat, dan cabang itu sepenuhnya ada dalam rengkuhan jemari saya. Ternyata saya juga telah berubah.
Di belakang rumah Budhe dan Pakdhe tinggal Mbah Kismo dan istrinya. Usia mereka mungkin sekitar 90 tahun. Saat saya kanak-kanak, saya sering menghabiskan waktu mengikuti Mbah Kismo mencari pakan sapi dan melihat istrinya membuat tempe. Mereka berdua adalah figur yang tidak terpisahkan dari masa kecil saya di Sentolo. Sore itu saya mengunjungi rumah mereka. Biasanya saya masuk lewat dapur. Seekor sapi berwarna coklat tua nampak memamah biak di dekat pintu dapur. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu saat saya lekat memandangnya sehabis mengikuti Mbah Kismo mencari rumput. Namun ada yang berubah pada dapurnya. Dapur berlantai tanah itu sudah tak terurus dan beralih fungsi menjadi kandang bebek. Perlahan saya masuk dan melihat seorang laki-laki renta yang sedang tertidur dengan hanya mengenakan celana pendek hitam. Kaget dengan suara langkah saya di lantai yang tak pernah disapu dan penuh debu, ia terbangun. Indera pendengarannya masih sebagus dulu. Perlahan ia mendekati saya dan ternyata ia masih mengenali saya. Kami bersalaman dan saling bertukar kabar. Sore itu ternyata ia sedang beristirahat sebentar sambil menunggu waktu mencari rumput. Kedatangan saya yang tidak sengaja membangunkannya ia anggap sebagai pertanda waktu mencari rumput.
Sambil menunggu ia bersiap, saya kelilingi lagi rumah tua itu sambil mencari Mbah Kismo putri. Saya sibak kerai yang penuh debu dan menemukan kamar yang penuh sarang laba-laba dan kasur berdebu yang digulung. Tiba-tiba saya sadar kalau Mbah Kismo putri telah meninggal. Bagaimana saya bisa lupa kalau beberapa tahun yang lalu sepupu saya mengirimkan pesan tentang kematiannya. Entah kenapa tiba-tiba saya menangis tanpa suara. Dan saat itu juga saya berpamitan pada Mbah Kismo dengan linangan masih di pipi. Saya tak khawatir ia akan menyadarinya. Rumah itu terlalu gelap dan ia tidak akan bisa menangkap mimik wajah saya. Semoga memang tidak.
Sore itu saya membiarkan diri saya menangis dan terus menangis. Entah apa yang ditangisi. Padahal saya hanya mencoba mengingat apa yang pernah saya alami di tempat penuh kenangan ini. Mungkin kegiatan mengenang itu membuat saya sadar bahwa terlalu banyak orang-orang yang telah pergi. Atau mungkin saya sedih karena bertambah tua. Ataukah mungkin ada rasa bahagia karena saya sudah punya 3 keponakan yang sangat lucu.
Tidak mampu saya mengatakannya. Tapi semua masa lalu itu begitu dekat dan saya yakin hanya saya yang bisa mngerti dengan kompleksnya perasaan di dalamnya. Saya menikmati naik turunnya emosi sore itu. Dan memang, perasaan sore itu tidak mampu dituliskan namanya. Lalu tiba-tiba saya merasa capek. Bermain dengan kenangan ternyata kegiatan yang melelahkan. 

Tidak ada komentar: