Minggu, 03 Februari 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 1




Tiap daerah di Nusantara punya sejarahnya sendiri. Sejarah tersebut dibentuk dari beratus tahun pergolakan berdarah atau perdagangan dengan berbagai bangsa. Misalnya, jadi ada yang patut untuk dikenang saat melintas di dekat muara Ciliwung. Mungkin saja tempat kita berdiri dulu adalah tempat berdirinya sebuah tiang batu bertulis peninggalan orang Portugis. Pun ketika kita berjalan di antara pencakar langit kota Surabaya. Patut disyukuri bahwa para pahlwan lah yang membuat semua bukti modernisasi itu mungkin untuk dinikmati. Itulah kira-kira yang ingin disampaikan lewat buku karangan Rosihan Anwar ini. Sejarah panjang yang dilewati bangsa ini dibentuk tidak hanya dari sejarah-sejarah besar namun juga terdiri dari hal-hal kecil di masa lalu yang sering dianggap remeh.
Buku setebal 316 halaman ini terdiri dari 13 bab yang menceritakan sejarah beberapa daerah di Indonesia. Memang tidak semua daerah di Indonesia disebut sejarahnya tapi jabaran ketigabelas daerah dalam buku ini cukup mewakili mengingat daerah-daerah tersebut memegang peranan penting dalam pahit manis perjalanan Nusantara sampai menjadi Indonesia. Ketigabelas daerah itu adalah: Timor Timur, Maluku, Aceh, Nias, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Bengkulu, Banten, Kep. Kokos, Jawa Barta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Rosihan Anwar yang rajin membaca, mencatat, dan menuangkan hasil pemikirannya dalam berbagai macam tulisan yang tak terhitung jumlahnya mengumpulkan beberapa tulisan yang pernah dibuatnya di masa lalu dan membuatnya menjadi buku. Selain tulisan pribadinya, wartawan senior ini juga mengutip berbagai fakta sejarah dari buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda. Buku ini menjadi kaya akan referensi dan menarik untuk dibaca karena mengungkap fakta-fakta sejarah kecil yang biasnya luput dari pembahasan padahal kaya akan pernak-pernik menarik yang memperkaya sejarah besarnya. Ini sesuai dengan judulnya, “petite histoire”, yang berarti sejarah kecil.
Karena berisi fakta sejarah yang bisanya luput untuk dikupas, pembaca pada akhirnya malah berkesempatan untuk mengetahui hal-hal menarik. Tidak banyak yang tahu kalau nama daerah Menteng di Jakarta diambil dari nama komisaris Hindia Belanda yang ditempatkan di Palembang dan Bangka, Muntinghe. Atau kalau untuk saya pribadi, saya shocked saat mengetahui bahwa Rangkayo Rasuna Said yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Jakarta adalah seorang wanita orator ulung dari ranah Minang. Sebelumnya saya selalu mengira bahwa ia adalah seorang pria.
Setiap bab selalu dibuka dengan cuplikan berita di surat kabar mengenai kondisi terkini daerah terkait. Setelah itu Rosihan mulai menuturkan sejarah daerah tersebut. Teknik tersebut efektif untuk menggiring pembaca membayangkan keadaan terkini secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya di sebuah daerah dan perlahan menyelami keadaannya dari mulai beratus-ratus tahun sebelumnya. Terasa ada romantika yang muncul karena munculnya perbandingan. Masa lalu seperti biasa menjadi topik yang menarik untuk dikenang walaupun tidak semuanya merupakan kisah yang manis.
Bab favorit saya adalah bab berjudul “Jawa Barat: Sejarah Campur Sari Tiga Zaman” yang menyajikan fakta-fakta sejarah mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman mempertahankan kemerdekaan. Rosihan Anwar mengutip banyak tulisan asing berbahasa Belanda sebagai sumber tulisannya. Salah satunya adalah tulisan wartawan-sejarawan bernama Joop van den Berg yang rajin menelusuri pasar barang-barang antik di Belanda untuk berbelanja manuskrip atau dokumen di zaman Hindia Belanda. Penemuannya ia kombinasikan dengan catatan di perpustakaan dan kemudian melahirkan sebuah kumpulan “petite histoire” berjudul De Wayang Fox-trot-Sporen uit een Indisch verleden yang diterbitkan tahun 1992. Di dalamnya banyak laporan tentang kejadian sehari-hari yang mampu untuk menggambarkan kehidupan masyarakat di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya adalah data tentang pendapatan dan pengeluaran sebuah keluarga Indo-Belanda yang kepala keluarganya bekerja sebagai pegawai Staats Spoorwegen (SS) atau Jawatan Kereta Api di daerah Bandung. Joop menuliskan data tersebut berbekal sebuah buku keuangan keluarga tersebut yang ditemukannya di pasar loak. Dari sana, bisa diperkirakan kehidupan ekonomi keluarga Indo-Belanda yang hidup di zaman tersebut.
Rosihan Anwar juga menceritakan kehidupan seorang pengarang Belanda bernama Edgar du Perron yang lebih dikenal dengan nama Eddy du Perron. Ia adalah penulis biografi Multatuli berjudul De Man van Lebak dan Multatuli: Twede Pleidooi . Ia juga penulis roman dan esai. Selain itu, ia juga pernah menulis surat terbuka kepada Sutan Sjahrir yang menyatakan pandangan pribadinya kepada perjuangan Sjahrir yang saat itu sedang dalam pembuangan di Banda Neira. Sjahrir adalah tokoh nasionalis yang dihormatinya dan dengan itu pembaca bisa tahu bahwa ada juga totok yang bersimpati dengan perjuangan mencapai kemerdekaan. Tidak semua totok menentang perjuangan para bapak bangsa pada saat itu.
Masih ada 12 bab lain yang layak untuk dijadikan bab favorit. Buku ini berjasa banyak bagi generasi sekarang untuk menghadirkan sejarah-sejarah kecil yang mulai tenggelam ditelan arus zaman. Dengan membacanya, pembaca akan mengingat bahwa bangsa yang sedang terpuruk karena rentetan masalah ini dulunya memiliki peradaban agung. Ia juga bisa bangkit dan melawan penindasan dan segala ketidakadilan di zamannya. Sangat besar pembelajaran yang bisa dipetik. Mulai dari berpikir positif bahwa bangsa ini tidak pernah lelah berjuang sebesar apapun musuhnya. Selamat membaca! 

Tidak ada komentar: