Jumat, 07 Desember 2012

ANAK-ANAK ZAMAN SEKARANG



Pernah tidak memperhatikan anak-anak SD yang baru saja keluar dari gerbang sekolah? Beberapa pasti ada yang langsung membeli jajanan di depan sekolah. Beberapa menunggu jemputan, dan sisanya terlibat diskusi kecil dengan teman sepermainannya. Pernahkah muncul pertanyaan, setelah pulang sekolah apa yang mereka lakukan? Pertanyaan sederhana tersebut agak mengusik saya selama beberapa hari ini. Saya menyadari ada yang berbeda dengan anak-anak SD zaman sekarang. Kemarin saya iseng bertanya kepada salah satu murid bimbingan yang baru kelas 2 SD jam berapa ia pulang sekolah. Di menjawab pukul setengah 2 siang. Saya agak kaget karena dulu zaman saya masih kelas 2 SD, pulang sekolah jam 10 pagi. Ternyata jawaban yang sama tidak hanya diberikan oleh satu orang. Rata-rata siswa bimbingan kelas dua menjawab sama.
Pertanyaan saya lanjutkan dengan kegiatan yang biasanya mereka lakukan setelah pulang sekolah. Serempak mereka menjawab les. Oh, OK. Seminggu berapa kali biasanya, saya melanjutkan pertanyaan saya. Jawaban berkisar dari 4-5 kali. Dan rata-rata les tersebut berakhir pada jam 4 atau jam 5 sore. Tergantung keterampilan apa yang ditekuni. Jenis les juga beragam. Ada les musik (gitar, piano, biola), jarimatika, bahasa Inggris, tari, pengembangan otak kanan, ngaji, olahraga (tenis, badminton, renang), dan modelling. Menyenangkan karena orang tua sudah mengarahkan keterampilan anak sejak dini dengan harapan ketika dewasa anak-anak tersebut memiliki keahlian dan bisa mengukir prestasi dengan keterampilan tersebut. Padahal orang tua mereka tergolong biasa-biasa saja, tapi mereka sangat mengusahakan keterampilan-keterampilan tersebut bagi anak-anaknya. Sedangkan biaya les-les itu tergolong tidak murah.
Waktu kecil saya kebanyakan saya habiskan dengan bermain sepulang sekolah. Saya masih ingat betapa menyenangkannya jika bisa mandi di kali tanpa ketahuan Bapak atau Ibu. Atau sepedaan sampai Triharjo yang sebenarnya jaraknya hanya 5 km dari rumah tapi saat itu terasa sangat jauh. Saya masih ingat bagaimana tetangganya Intan, teman saya waktu SD, mengajarkan jenis-jenis ikan kali dan cara menangkapnya, membuat ketupat dan prakarya dari daun kelapa, atau mengikuti tetangga saya yang penjaga sekolah. Dengan mengikuti itu, saya sering dapat permen merk Trebor gratis.
Pengalaman saya tentu tidak berarti dibandingkan dengan pengalaman murid-murid kelas 2 tadi. Mereka sudah bisa memainkan piano di usia yang masih dini sedangkan saya membedakan nada saja masih belum fasih. Saya benar-benar iri dengan mereka yang mempunyai keterampilan yang bisa mereka banggakan.
Tapi cerita belum selesai. Ada hal yang masih mengusik saya sampai saat ini. Murid-murid tadi sering mengeluh saat sesi belajar bahasa Inggris. Karena saya mengajar privat, hanya ada 1-2 anak dalam satu sesi belajar. Mereka cukup dekat dan sering menceritakan pengalaman mereka termasuk minimnya jam bermain. Awalnya saya kira itu hanya berupa keluhan hiperbolis khas anak-anak untuk minta perhatian. Tapi kemudian saya menyadari bahwa keluhan tidak hanya datang dari satu-dua anak tapi beberapa anak. Hal ini membuat saya bertanya pada mereka, sesering apa mereka bermain. Mereka menjawab bahwa mereka sebenarnya memiliki waktu bermain antara  3-6 jam dalam seminggu di luar rumah.  3 jam untuk anak-anak yang les 5x seminggu. 6 jam untuk yang les 4x seminggu. Dan permainan hanya berkisar antara sepedaan di sekitar kompleks jika itu anak laki-laki, dan masak-masakan atau permainan a la rumah tangga jika itu anak perempuan.
Mungkin karena keinginan terbesar anak-anak di usia mereka adalah bermain, saya sering menemukan mereka tidak konsentrasi dalam mengikuti les. Pikiran mereka cenderung tidak fokus. Adakah yang salah dengan sistem les 4-5x seminggu seperti itu? Bukankah itu sebenarnya akan membatasi ruang gerak mereka yang seharusnya dibebaskan untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar mereka. Saya rasa penting juga untuk mengizinkan anak-anak main sampai ke desa sebelah, bertemu orang-orang baru, dan mengenal berbagai pekerjaan yang digeluti berbagai kalangan masyarakat. Karena saya yakin, buku pelajaran tidak bisa merangkum hal-hal seperti itu.
Bukan berarti kemudian les ditinggalkan. Memupuk keterampilan sejak dini tentu penting. Jangan sampai saat dewasa jadi sedih seperti saya karena tidak bisa main gitar. Ada baiknya mengurangi jam les yang terlalu padat bagi anak-anak. Pulang pukul setengah dua dan masih harus les selama kira-kira 2 jam ke depan, di zaman saya itu terdengar sangat mengerikan.
Walaupun mereka biasanya memiliki waktu untuk berlibur bersama keluarga di hari Minggu, saya merasa bahwa interaksi sosial dengan orang yang lebih tua atau lebih muda dari berbagai kalangan juga perlu untuk dibina. Dan untuk anak-anak, interaksi dengan dunia luar yang jujur dan murni hanya bisa didapatkan ketika mereka bermain. Saat bermain, mereka diizinkan untuk jadi diri mereka sendiri. Mereka bebas mau pergi ke mana. Mereka boleh berkelahi dan satu jam kemudian bermain lagi bersama teman yang sama. Interaksi sosial seperti itu yang mengajari mereka mengenali karakter orang lain dan nantinya membentuk karakter mereka sendiri. Sebenarnya, hidup adalah soal pilihan. Mengapa tidak berlatih untuk memilih sedari kecil? Entahlah. Semoga anak-anak di manapun punya masa kecil yang menyenangkan sehingga mereka bisa membawanya sampai dewasa sebagai kenangan juga pelajaran. =)

Tidak ada komentar: