Jumat, 07 Desember 2012

KEKUASAAN

Kekuasaan itu mengerikan. Orang berlomba untuk mendapatkannya dan sekali ada dalam genggaman, mereka enggan untuk melepasnya. Salah satu bentuk fanatisme yang menjadi penyakit orang-orang yang dekat dengan kepercayaan. Fanatisme yang satu ini meneguhkan eksistensinya dengan cara mengecilkan yang lain, baik musuh maupun pendukungnya, lewat segala cara. Bahkan lewat cara yang paling kejam sekali pun. Dalam hal ini setiap zaman punya kisahnya sendiri-sendiri.
Saya masih ingat potret seorang jenderal Vietnam Utara yang menempelkan laras Smith and Weston di pelipis seorang Vietkong kemudian menembakkannya gara-gara si Vietkong menolak diinterogasi. Kejadian menegangkan itu diabadikan seorang fotografer perang di tahun 1968 dan cukup menjelaskan kepada saya tentang bagaimana bagi seorang penguasa fanatik, sebuah ancaman bagi kedudukan pribadi bisa berarti merupakan ancaman bagi keselamatan orang lain yang dicurigai mengancam kekuasaannya.
Siapa yang pernah membaca Babad Tanah Jawi pasti bergidik saat sampai pada bab di mana Amangkurat I memasukkan 60 pelayan ke kamar gelap dan tidak memeberi makan mereka sampai mati karena salah satu istrinya meninggal. Salah satu raja Jawa ini juga pernah memerintahkan untuk membunuh 6000 ulama beserta anak istri mereka. Penerusnya, Amangkurat II, tidak kalah kejam. Ia mencincang hati Trunajaya dan membagikannya kepada para bupati yang hadir di balairung untuk ditelan. Peristiwa ini terjadi sekitar abad ke-17. Suatu hal yang membuktikan kejamnya sebuah kekuasaan tanpa kendali. Sebuah kekuasaan mutlak yang bahkan dilegalkan oleh perundang-undangan di bawah pengawasan sang penguasa. Si penguasa tidak salah karena ia memiliki kekuasaan penuh dan layak untuk menggunakannya tanpa ada batasan.
Demi megukuhkan kekuasaan, seorang penguasa tidak jarang melakukan hal-hal konyol yang sepatutnya bisa dihindari. Merupakan naluri seorang penguasa yang fanatik kepada kekuasaannya untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Umumnya mereka akan melihat keberadaan orang-orang yang dikuasainya sebagai lahan empuk penyokong keberadaannya. Ada dua cara. Cara pertama, si penguasa akan menyiksa bawahannya untuk menunjukkan seberapa besar pengaruhnya. Cara kedua, si penguasa akan mensuplai dirinya dengan semua kebaikan dan kenyamanan yang bisa didapatkannya sehingga orang-orang yang dikuasainya hanya tinggal dengan yang tersisa.
Entah kenapa saya tidak mau membahas yang pertama. Stalin dan Robespierre sudah cukup memberikan gambaran kepada saya tentang bagaimana kekusaan itu berarti Anda boleh memancung ribuan orang dengan guillotine atau mengirim jutaan orang ke Siberia tanpa ransum hanya karena tidak sepaham. Cara memepertahankan kekusaan yang menurut saya terlalu jelas kejahatannya. Hal ini bisa mengendurkan kepercayaan rakyat yang terlanjur mendukung si penguasa.
Bagaimana jika mulai membahas cara yang kedua? Cara ini dianggap lebih aman dan elegan. Langkah pertama adalah dengan menyebarkan kesan bahwa si penguasa akan membuat rakyatnya lebih makmur dengan tatanan baru yang dibuatnya. Rakyat tidak perlu diberi tahu seberapa besar derajat kemungkinan kemakmuran itu akan mereka dapat. Yang terpenting dari langkah awal ini adalah kesan yang tertanam pada rakyat bahwa akan ada sebuah tatanan atau katakanlah program (ups!) yang akan mengangkat mereka dari siklus penderitaan berlarut.
Tahu apa yang menjadi modal dari berhasilnya langkah ini? Kepercayaan. Betapa dahsyat kata ini bila jutaan orang yang memilikinya memilih untuk meberikannya kepada seseorang. Seseorang ini, yang kita percaya telah fanatik kepada tahta kekuasaan, menelikungkan kepercayaan itu menjadi sebuah sumber keuntungan pribadi demi pengukuhan eksistensi. Dan pada akhirnya kemakmuran itu tidak akan pernah ada karena sifatnya semu, dibuat untuk pencapaian keinginan si penguasa. Yang paling berbahaya dari semuanya, sangat sering kenyamanan yang telah didapatkan membuat si penguasa ketagihan. Setelah pencapaian pertama, ada pencapaian kedua (ups!), ketiga, keempat . . . Singkatnya, bisa diumpamakan dua detik yang lalu ia menginginkan Toyota Camry, dua menit kemudian pikirannya beralih pada Toyota Crown Majesty (ups!).
Sejarah tidak melewatkan begitu saja fakta-fakta seperti ini. Cultuurstelsel atau Tanam Paksa awalnya ditujukan untuk membantu membayar hutang Hindia Belanda yang mencapai f 37 juta kepada pemerintah Netherland demi membiayai Perang Jawa (Perang Diponegoro). Tujuan lain adalah untuk memberi rakyat Jawa kemakmuran karena tanaman yang ditanam laku keras di pasaran dunia. Namun pada akhirnya, saat kesulitan ekonomi terselesaikan, tingkat kemakmuran rakyat tidak pernah naik grafiknya karena memang mereka belum pernah mencapai kondisi makmur. Grafik itu menurun drastis. Karena keserakahanlah pemerintah Hindia Belanda kemudian melupakan janji kemakmuran dan memfokuskan pada penambahan kekayaan negara. Pundi-pundi uang kolonial menggunung bersama dengan penggiringan 18000 keluarga di Jawa ke kebun-kebun untuk menggarap tanah yang hasilnya merupakan primadona pasar dunia. Jumlah penduduk tersebut merupakan ¼ jumlah penduduk Jawa saat itu. Menurut Stokvis, sampai 1866, masih ada daerah di mana seorang penanam kopi hanya mendapat 4-5 sen padahal ia membutuhkan 30 sen untuk hidup.
Kemudian dunia modern mengenal nama-nama seperti Hugo Chavez, Rafael Trujilo, dan Soeharto. Sulit memang mempercayai kenyataan bahwa kepercayaan penuh bisa dikhianati oleh orang yang sangat dipercaya. Lebih sulit lagi untuk percaya bahwa kualitas pendidikan dan kesehatan yang belum bisa dikatakan cukup yang selama ini kita terima masih jauh teramat unggul dibanding yang bisa didapatkan di daerah-daerah pelosok Papua. Teman baik saya, Ellen, mengungkapkannya pada saya beberapa waktu yang lalu. Kemudian, masihkah bisa dipercaya bila seorang tukang becak dengan seorang istri dan 6 anak di Medan hanya berpenghasilan Rp 10.000,00 sehari?
Sepertinya semua orang akan melakukan hal yang sama jika kekuasaan telah berada di genggaman. Merupakan sifat naluriah manusia untuk meraih apa-apa yang diinginkan saat instrumen-instrumen untuk mewujudkannya telah tersedia. Namun akan celaka jika hal ini terjadi pada seorang pemimpin. Ia memang manusia tetapi ia harus sedikit berbeda, maka kemudian ia layak disebut pemimpin. Pertanyaannya kemudian, tidak adakah pemimpin seperti itu? Tentu masih ada. Tapi sangat sedikit jumlahnya. Teramat sedikit . . .

“Seorang pemimpin yang baik ibarat danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tetapi menampung. Dia tahu bahwa sumbernya adalah air yang datang dari pedalaman yang jauh.” (Tao)



Tidak ada komentar: