Sabtu, 29 Desember 2012

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 3



Saya akui bahwa saya sungguh terlambat membaca buku ini karena buku ini terbit tahun 2009 dan kira-kira-kira 3 tahun sebelumnya, saya pernah sepintas melihat iklan tentang buku ini saat membaca majalah Tempo. Saat itu saya tertarik karena buku ini ditulis oleh Rosihan Anwar, wartawan senior yang namanya sering muncul di buku-buku maupun review-review sejarah yang saya baca.
Petite Histoire tidak hanya terdiri dari 1 jilid namun ada 4 jilid yang masing-masing sepertinya menceritakan tentang bidang tertentu yang berpengaruh pada sejarah Indonesia. Sayangnya saya memang sedang sial. Bukannya menemukan jilid 1, malah jilid 3 yang saya temukan terlebih dahulu. Namun saya sedikit bersyukur karena sepertinya buku ini tidak seperti cerita bersambung di mana kita harus tahu info di buku sebelumnya.
Setelah membaca buku ini, ada tiga topik yang disoroti oleh penulis. Bagian pertama adalah kebangkitan nasional. Bagian kedua adalah peranan tokoh-tokoh penting yang namanya kurang dikenal dalam perjuangan merebut maupun mempertahankan kemerdekaan, dan yang terakhir adalah dunia kewartawanan. Bagian favorit saya adalah yang pertama karena menyajikan fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan politik. Sebagai contoh adalah fakta bahwa dahulu salah satu tokoh perjuangan, yaitu dr. Abdul Halim, pernah menjual candu ke Singapura karena RI membutuhkan valuta asing untuk membeli senjata,obat-obatan, dan perlengkapan tentara. RI juga ternyata pernah memiliki pabrik candu yang ada di bawah kepengurusan Djawatan Tjandoe dan Garam. Pabrik tersebut merupakan warisan dari zaman Belanda.
Bagian I dimulai dengan peran wartawan dalam pergerakan nasional. Rosihan Anwar menyebutkan beberapa nama wartawan pribumi awal seperti R.M. Tirtoadisoerjo yang mendirikan “Medan Prijaji” serta dr. Abdul Rivai yang mendirikan majalah “Bintang Hindia” yang terbit di Belanda. Dari wartawan, bahasan beralih pada peran para dokter yang bersekolah di STOVIA, sekolah dokter jawa pertama di Hindia Belanda. Tokoh-tokohnya antara lain: Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo. Rosihan Anwar kerap kali juga menyajikan fakta-fakta sejarah jauh sebelum zaman pergerakan nasional yang membantu penjelasannya tentang zaman pergerakan nasional. Contohnya, runtuhnya Hindia Belanda disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor dari dalam yaitu korupsi yang sudah merajalela di tiap tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat pribumi yang mendapat mandat dari atas sampai tingkat pemerintahan pusat di Batavia. Sebenarnya Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) pernah berusaha keras untuk melawan praktek korupsi ini namun nampaknya efek perlawanan tersebut tidak bertahan sampai zaman pergerakan nasional.
Bagian II menyoroti tokoh-tokoh yang berperan dalam aktivitas merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sebagian besar tokoh-tokoh tersebut tidak pernah kita dengar namanya dalam buku-buku pelajaran sejarah. Mungkin karena mereka datang dari berbagai bidang dan jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa tokoh wanita yang turut disebutkan, seperti Miriam Budiardjo dan Soerastri Karma Trimurti. Hal ini membuktikan bahwa peran serta wanita baik di zaman pergerakan maupun kemerdekaan tidak bisa dinafikkan karena ternyata mereka telah menorehkan prestasi yang tidak bisa dipandang remeh. Tokoh-tokoh lain yang disebutkan sebagian besar adalah kenalan baik Rosihan Anwar yang berafiliasi dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Rosihan Anwar adalah pengikut PSI. Memang ada tokoh-tokoh lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan PSI tapi jumlahnya tidak sebanyak yang punya. Oleh karena itu, saat menceritakan tokoh-tokoh yang terlibat G 30 S/PKI, tulisan Rosihan Anwar sedikit bernada sinis. Perbandingan sangat terlihat saat dia menceritakan kesan tentang Sarbini, tokoh ekonomi, serta Soedarpo Sastrosatomo yang penuh dengan puja puji dan pandangannya tentang Pramoedya Ananta Toer dan Sobron Aidit yang PKI. Sangat kentara di beberapa tulisannya Rosihan Anwar menunjukkan ketidaksukaannya dengan PKI. Mungkin karena dulu PKI berkonfrontasi dengan PSI. Hal ini membuat saya menilai tulisannya bias.
Bagian terakhir kebanyakan menyoroti tentang penyelenggaraan FFI dan pandangan Rosihan Anwar tentang bagaimana seharusnya pers Indonesia menyikapi berbagai kejadian di Indonesia, mulai dari politik, sosial, budaya. Dalam FFI, Rosihan Anwar menyebutkan peranannya dalam ajang tersebut dan proses penentuan pemenang dalam FFI. Hal kedua merupakan favorit saya karena saya bisa mengetahui pertimbangan-pertimbangan apa saja yang diambil dalam memilih film terbaik. Di bagian kewartawanan, ia menyoroti mental wartawan Indonesia yang tidak mau bekerja keras dan cenderung money-oriented. Hal ini dia bandingkan dengan kinerja wartawan zaman perjuangan yang selalu mengedepankan prinsip komunal dan nasional dibandingkan individual.
Akhirnya, terlepas dari berbagai bias yang menurut saya banyak terdapat di buku ini, saya tetap merekomendasikan buku ini dibaca oleh mereka yang tertarik pada sejarah Indonesia, terutama sejarah pergerakan dan tokoh-tokoh perjuangan yang namanya tidak banyak diketahui. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: