Jumat, 07 Desember 2012

KUCING


Bagi sebagian besar orang, kucing adalah hewan yang lucu. Penyuka kucing bilang bahwa hewan ini berbulu lembut dan memiliki muka yang menggemaskan. Cara kucing menggoyangkan ekor bisa membuat sebagian besar penggemarnya merasa geli. Belum lagi ketika mereka bergulung-gulung, bermain-main dengan cahaya senter yang kita mainkan, atau mengikuti setiap gerak benda tertentu yang sengaja kita gerakkan. Begitu kata orang-orang di sekitarku yang menggemari kucing. Ada teman kuliah, tetangga, sepupu, dan kenalan di Facebook yang belum pernah kutemui namun kulihat dia sering mengunggah gambar-gambar kucing gemuk yang diberi komentar lucu.
Aku bingung kenapa orang bisa menyukai kucing, karena aku sama sekali tidak menyukainya. Bulunya gampang rontok sehingga membuatku takut bulu-bulu itu akan terhisap dan menetap di paru-paruku sampai aku tua. Gerak-gerik kucing juga menyebalkan. Penuh kecurigaan seakan-akan aku akan menyerangnya. Bangsa mereka selalu memperhatikan manusia lekat-lekat dan aku tidak suka pandangan mata itu. Pandangan mata yang bisa menyala di malam hari. Seperti setan. Menurut informasi yang kubaca, mata mereka menganding fosfor. Hewan macam apa itu? Masa mata mengandung fosfor!
Belum lagi kotoran mereka yang baunya amit-amit. Menurutku, kucing memiliki bau kotoran paling ganas. Lebih ganas dari kotoran manusia. Dan kotorannya mengandung kuman tokso yang berbahaya bagi janin ibu yang mengandung. Karena aku wanita, semakin lengkaplah alasanku untuk tidak menyukai kucing.
Tapi aku tahu bahwa alasanku membenci kucing tidak datang tiba-tiba. Seingatku, dulu waktu kecil aku tidak pernah merasa ngeri berdekatan dengan bangsa mereka. Walaupun aku juga tidak merasa senang dengan adanya mereka. Sederhananya, dulu aku tidak merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Berbeda dengan sekarang. Kalau aku ingat-ingat lagi, kebencian pada kucing ini hadir karena adanya beberapa peristiwa yang terjadi ketika aku masih kecil.
Dulu, kira-kira saat usiaku masih lima tahun, aku memiliki tetangga yang berjualan bakmi jawa. Mereka pasangan suami istri paruh baya yang tinggal di samping kanan rumah. Rumahku dekat dengan pemakaman dan rumah mereka lebih dekat lagi. Tembok rumah mereka bersanding berdekatan dengan tembok belakang makam. Sang suami bernama Pakdhe Cokro, begitu aku memanggilnya. Dan sang istri bernama Budhe Is. Pakdhe Cokro selalu memakai topi pet coklat berbahan kain yang belum pernah aku lihat sekali pun terlepas dari kepalanya. Sedangkan Budhe Is selalu memakai kebaya dan kain jarik. Rambutnya digelung dan dipasangi konde. Mereka tidak punya anak dan selalu senang kalau aku datang bermain ke sana tiap sore. Biasanya aku mampir setelah pulang mengaji. Masih memakai seragam TPA, aku memungut kertas-kertas bergambar kodok yang merupakan kertas merk bakmi yang mereka gunakan. Biasanya aku bisa mengumpulkan 5-6 kertas tiap sore.
Terkadang saat memungut kertas-kertas bergambar kodok berwarna hijau itu, aku ditawari makan. Makan apa saja. Nasi, bakmi, roti, lemper. Apa saja. Dan aku tidak pernah menolak. Pakdhe Cokro dan Budhe Is adalah tipikal orang dewasa favoritku saat itu, tidak pernah marah dan selalu memberi makanan gratis.
Suatu sore, saat aku mau bersiap bermain ke tempat Pakdhe Cokro dan Budhe Is, Ibu melarangku.
‘Jangan main ke sana!’
Saat aku bertanya kenapa, Ibu bilang bahwa Budhe Is sedang sakit dan praktis hari ini Pakdhe Cokro tidak berjualan. Kedatanganku sore ini hanya akan merepotkan mereka.
‘Aku nggak akan ganggu kok.’
‘Memangnya di sana kamu mau apa?’
Ya, sebenarnya di sana aku mau apa? Kalau Pakdhe Cokro tidak jualan, berarti tidak ada gambar-gambar kodok yang menunggu untuk dikumpulkan. Tidak ada tawaran untuk makan bakmi atau makanan lain karena Budhe Is sedang sakit.
Tapi sakitnya Budhe Is lama sembuhnya. Ketika aku berpamitan untuk main ke sana di hari berikutnya, ibuku masih melarang. Juga hari setelahnya. Dan kemudian tak terasa seminggu berlalu, sebulan, dan aku lupa untuk berpamitan, karena aku tak pernah mengunjungi Pak Cokro dan Budhe Is lagi. Kegiatanku memungut lembar-lembar kertas bergambar kodok tiba-tiba berhenti.
Suatu malam, kakekku mengajakku jalan-jalan ke pasar senggol dekat stasiun. Pasar senggol adalah nama yang diberikan masyarakat kotaku untuk pasar berisi para pedagang kaki lima yang hanya buka di malam hari. Beragam barang dagangan mereka. Kebanyakan makanan. Ada bakso, gudeg, gebleg-tempe, sate, bami jawa, dan ronde. Malam itu kami membeli bakmi jawa di kedai Pakdhe Cokro. Kedai yang kumaksud hanyalah berupa terpal warna oranye yang didirikan untuk sekedar melindungi gerobak, empunya, dan para pelanggan dari hujan. Warung Pakdhe Cokro tak pernah ramai, tak pernah juga sepi. Selalu ada pengunjung di sana tapi tak terlalu banyak.
Malam itu Pakdhe Cokro berjualan sendirian. Tidak ada Budhe Is seperti biasanya. Kakek membeli bakmi, berbasa-basi sebentar dengan Pakdhe Cokro, dan menggandengku pulang. Setelah itu, aku masih sering pergi ke kedai Pakdhe Cokro bersama kakek atau bapak atau oom atau saudara-saudara yang lain namun aku tidak pernah menemukan Budhe Is ikut membantu berjualan lagi. Yang aku tahu, Pakdhe Cokro kemudian mempunyai rewang bernama Badu yang sering terlihat membantunya berjualan. Tak banyak yang kuingat tentang Badu. Hanya saja ia memanggilku “Ninik”, bukan “Nonik”. Dan aku sering kesal.
Aku sudah mulai melupakan kertas-kertas bergambar kodok dan bermain di dekat gerobak jualan Pakdhe Cokro ketika sore itu aku tidak sengaja menemukan Budhe Is di dalam kuburan sedang berjongkok dan memandang lekat seekor kucing di depannya. Aku sering bermain ke kuburan karena rumahku sangat dekat dengan tempat tersebut. Selain itu, aku sering mengikuti Mbah Mul, juru kunci makam, mengitari area pamakaman untuk membersihkan beberapa tempat. Budhe Is memakai kain dan kebaya yang sering aku lihat. Bedanya hanya saat itu ia tak memakai alas kaki dan wajahnya…wajahnya penuh dengan bedak. Tak biasanya ia merias wajahnya dengan bedak begitu tebal. Saat aku memanggilnya, Budhe Is tidak merespon sedikit pun. Karena kesal, aku mulai mendekat. Ternyata ia tidak hanya memandang kucing di depannya. Budhe Is… berbicara dengan kucing itu. Awalnya aku ingin tertawa tapi kemudian aku merasa takut karena menyadari ada sesuatu yang aneh. Budhe Is aneh. Ia tidak seperti biasanya. Biasanya ia tak pernah mengabaikan kedatanganku. Dan kucing itu. Kucing itu seolah tahu bahasa apa yang digunakan Budhe Is. Karena ia tidak bergerak dari tempatnya dan balas lekat menatap Budhe Is. Kucing berwarna kembang asem dengan mata bening berwarna hijau. Ada lingkaran hitam di sekitar irisnya. Dua makhluk itu tidak merasa terganggu dengan kehadiranku. Pun tidak sekedar repot untuk menolehkan kepalanya ke arahku.
Oleh karena itu aku mulai merasa takut. Aku tidak tahu takut akan apa. Tapi aku takut. Aku ingin segera bertemu ibu. Jadi aku berbalik dan lari secepatnya ke arah rumah. Saat aku melihat ibu, aku menghambur ke arahnya dan mulai menangis. Ibuku bingung dan mulai memeriksa badanku. Dikiranya aku habis jatuh. Setelah yakin aku tidak apa-apa, Ibuku diam dan menungguku berbicara.
‘Budhe Is kenapa? Kok dia ngomong sama kucing di kuburan?’
‘Memang kamu yakin itu benar Budhe Is?’
Jawaban Ibu malah semakin memperbesar volume tangisku. Dengan hati-hati ibuku bilang bahwa mulai saat ini aku tidak boleh lagi main ke tempat Pakdhe Cokro dan Budhe Is lagi. Saat aku tanya kenapa, ibu bilang bahwa Budhe Is sakit lupa. Dia tidak ingat lagi dengan orang-orang, juga denganku. Ia kadang salah mengenali orang dan menyangka benda di dekatnya adalah orang yang ia kenal. Itulah kenapa ia berbicara dengan kucing.
‘Jadi tadi benar Budhe Is?’, tanyaku.
‘Menurutmu? Memang siapa lagi?’
Tapi kata Vinda dan Tejo, teman-teman bermainku yang berusia tiga tahun di atasku, Budhe Is gila karena menjual jiwanya kepada setan agar mendapat uang. Setelah mendapat uang, ia harus mnyerahkan pikirannya sehingga menjadi gila. Itu harga yang harus ditebusnya untuk sejumlah kekayaan yang telah diberikan setan.
‘Tapi di mana uangnya? Aku nggak pernah lihat.’
‘Tentu saja disembunyikan di kolong tempat tidurnya, Bodoh! Masa dipajang di ruang tamu’, jawab Vinda.
Dan aku memang bodoh karena mempercayainya begitu saja.
Aku sering menemukan Budhe Is jalan-jalan di sekitar perkampungan kami. Kadang ia berbaju lengkap, lebih sering hanya memakai kutang dan kain dengan bedak tebal yang membuat wajahnya menyeramkan. Aku masih sering melihatnya berbicara dengan kucing di kuburan, yang semakin meyakinkan kata-kata Vinda dan Tejo kalau kucing adalah agen setan.
Saat aku SD kelas 2, Budhe Is meninggal. Kata Vinda, itu karena raja setan berpikir bahwa Budhe Is sudah lunas membayar hutang. Saat aku tanya ke mana uang itu sekarang, kenapa Pakdhe Cokro tidak kaya-kaya, Vinda menyebutku bodoh lagi. Katanya uang itu sudah habis untuk biaya mengobati Budhe Is.
‘Sia-sia dong!’ kataku.
‘Memang iya. Itu balasannya kalau bekerjasama dengan setan!’
Dan aku memang bodoh karena percaya begitu saja.
Butuh beberapa tahun untuk tahu bahwa Budhe Is memang terkena gangguan kejiwaan. Orang bilang hal itu sudah turun temurun terjadi di keluarganya. Saat usiaku 11 tahun, Pakdhe Cokro meninggal. Saat itu aku kemah tiga hari di luar kota. Aku tak tahu Pakdhe Cokro meninggal. Dan saat pulang, jazadnya sudah dikebumikan. Dan saat itu, rasa benciku pada kucing sudah ada. Entah dimulai sejak kapan tepatnya.
Wates, 30 Oktober 2012
09:52 pm


Tidak ada komentar: